Jumat, 05 September 2008

Peran Pemikiran dan Gerakan Politik Kristen di Indonesia


Bukanlah suatu kebetulan ketika gereja hadir dan berproses di bumi nusantara ini. Nusantara yang menjadi negara bernama Indonesia pada 17 Agustus 1945, adalah dunianya agama-agama. Kekristenan, baik sebagai nilai maupun sebagai institusi adalah salah salah dari keragaman yang Indonesia miliki itu. Sebelum negara ini berdiri, maupun ketika negara ini telah hadir sebagai sebuah institusi politik yang mengikat bangsa-bangsa, gereja yang membawa misi Yesus Kristus telah berproses dengan segala dinamika negara ini. Kehadiran gereja, tentu tak hanya soal pemikiran teologisnya, namun juga gerakan politik yang memberi nilai bagi perubahan dan pembaharuan Indonesia sebagai negara plural.

Dinamika Politik Kristen di Indonesia
Kekristenan telah sejak berabad-abad diperkenalkan di nusantara. Nilai Injil yang dilembagakan dalam gereja, telah dibawa masuk oleh bangsa-bangsa Barat, bersamaan dengan kepentingan kolonialisme di Indonesia, juga di dunia Timur lainnya. Meski begitu, akhirnya gereja menemukan dunianya yang bernama Indonesia dengan segala keragamannya. Gereja yang melembagakan nilai-nilai Injil akhirnya harus berproses dengan segala pemikiran dan gerakannya yang khas dengan persoalan Indonesia sepanjang sejarahnya.

Zakaria Ngelow, dalam http://www.geocities.com/jurnalintim, menuliskan beberapa perubahan bentuk peran partisipasi politik Kristen di Indonesia. Partisipasi politik Kristen berlangsung sejak gagasan Indonesia yang bersatu dan merdeka diperjuangkan dalam pergerakan nasional. Dan, itu tak sekali jadi. “Hubungan dan sikap gereja terhadap VOC dan pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya belum mempunyai bobot partisipasi politik, walaupun mempunyai maknanya sendiri dalam formasi Kekristenan di Indonesia.”

Ketika kesadaran atas kemerdekaan dan nasionalisme menemukan wujud dalam bentuk perlawanan fisik atau pemikiran terhadap penjajah, barulah gereja tersadar akan panggilan yang sesungguhnya, yang bukan hanya menyampaikan indahnya sorga, melainkan juga soal pentingnya kemerdekaan diri atas tekanan fisik dan pemikiran dari kaum penjajah. “Pada masa pergerakan nasional partisipasi politik Kristen segera diwujudkan ketika pemerintah kolonial memberi peluang bagi adanya kekuatan-kekuatan politik masyarakat di Indonesia untuk turut menentukan kebijakan pemerintah kolonial dengan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1917,” lanjut Ngelow.

Tapi pada mulanya, sebelum itu menjadi kesadaran bersama, telah berkembang kekuatan-kekuatan politik untuk melawan hegemoni dan imprealisme oleh bangsa penjajah. Gerakan perlawanan terjadi di tempat dan bentuk yang berbeda. Namun, semangatnya sama, yaitu menolak penjajahan atas diri dan tanah pijakan. “Sebelum itu memang telah berkembang kekuatan-kekuatan masyarakat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan yang berusaha memajukan diri dalam kerangka politik etis pemerintah kolonial. Kalangan Kristen mula-mula menghimpun kekuatannya dalam organisasi-organisasi kesukuan yang terbuka kepada kebersamaan dengan warga non-Kristen, sebagaimana a.l. dalam ormas-ormas Minahasa, Maluku dan Batak. Penekanannya pun belum politik secara langsung, melainkan emansipasi sosial dan ekonomi,” tulis Ngelow lagi.

Dalam perjalanannya, sikap politik Kristen, diawali dengan sebuah sikap yang pro kolonial. Ngelow menuliskan, Partai politik Kristen pertama di Indonesia CEP (Christelijk Etische Partij kemudian menjadi CSP, Christelijk Staatkundige Partij) dibentuk oleh kalangan Kristen Belanda dan kemudian melibatkan beberapa tokoh Kristen Indonesia (a.l. R.M. Notosoetarso, T.S.G. Mulia, Rehatta). “Pandangan politik CEP terhadap hubungan kolonial adalah mendukung gagasan perwalian, yakni bahwa hubungan kolonial adalah kehendak Tuhan dalam sejarah yang memberi kewajiban kepada Negeri Belanda untuk membimbing rakyat pribumi menuju kemandirian tanah jajahan yang tetap terikat dengan Negeri Belanda,” ungkapnya.

Tapi itu ternyata tidak diterima semua pihak. Kalangan progresif Kristen Indonesia yang mendukung perjuangan kemerdekaan merasa tidak sama dengan sikap politik yang pro kolonial itu. Kelompok yang progresif ini kemudian memilih bergabung dengan partai-partai sekuler. “Kalangan ‘Kristen pribumi’ dalam CSP memisahkan diri namun tidak berkembang karena tanpa perubahan visi politik pro-kolonial, dan karena batas-batas etnis yang masih sangat kental. Sumbangan positif partai Kristen yang didominasi orang Belanda ini adalah sekadar tempat latihan berpolitik, sebagaimana juga Volksraad bagi banyak politisi Indonesia dari golongan cooperatie (yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial dalam memperjuangkan masa depan Indonesia)” jelas Ngelow.

Di awal abad 20, tulis Ngelow, kalangan intelektual muda Kristen dalam lingkaran gerakan mahasiswa Kristen (CSV, Christen Studenten Vereeniging) memperoleh pengarahan dari sejumlah tokoh Kristen Belanda yang progresif untuk memihak pada pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tokoh di dalamnya adalah J. Leimena (1905-1977). “Dalam kiprahnya, mereka terbagi atas yang berpartisipasi di bidang politik melalui partai politik Kristen dan yang memilih partai politik sekuler. Memang sejak masa pergerakan nasional ditempuh berbagai jalur partisipasi politik, di dalam dan di luar partai Kristen. Politikus ulung seperti Amir Sjarifuddin justru memilih berkiprah di dalam lingkaran sosialis-komunis,” tulis Ngelow.

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) menulis di situsnya sejumlah peran pemikiran dan aksi para tokoh Kristen di masa-masa awal kelahiran Indonesia. Antara lain, bahwa dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggota 60 orang terdapat 3 (tiga) orang tokoh Kristen yaitu Mr.A.A.Maramis, Mr. Johanes Latuharhary dan Parada Harahap. Selain sebagai anggota BPUPKI, mereka juga terpilih sebagai anggota Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar yang diketuai Ir.Soekarno. Ketiga tokoh Kristen ini juga berada di antara 19 orang anggota Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar.

Agar semua unsur bisa terwakili dalam Panitia Penyusun Rancangan Undang-Undang Dasar, Ir.Soekarno selaku Ketua Panitia menambah wakil-wakil dari daerah. Terpilihlah 2(dua) tokoh Kristen lagi yaitu Dr.Sam Ratulangi mewakili Celebes (sekarang Sulawesi) dan Dr.J.Leimena mewakili Maluku.Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 18 Agustus 1945 pukul 11.16, Dr. Sam Ratulangi mempersoalkan dua hal penting yaitu : Pertama, Masalah Anggaran Belanja Negara yaitu bagaimana kalau Anggaran Belanja yang disampaikan Pemerintah ke DPR ditolak. Karena dalam Rancangan UUD belum ada pasal yang mengatur hal tersebut. Dr.Sam Ratulangi mengusulkan: apabila DPR menolak Anggaran Belanja yang diajukan Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun sebelumnya. Usul tersebut diterima menjadi pasal 23 UUD yang berbunyi : “ ….. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun sebelumnya”. Kedua, masalah dekonsentrasi serta desentralisasi. Dr Sam Ratulangi mengusulkan : agar daerah-daerah diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri. Tentu dengan persetujuan bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia dari satu Negara. Biarpun demikian kebutuhan, keperluan daerah-daerah di sana harus mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dengan mengadakan suatu peraturan yang akan menyerahkan kepada pemerintahan daerah kekuasaan penuh untuk mengurus keperluan daerahnya sendiri.

Selain Dr.Sam Ratulangi, ketika membicarakan pasal tentang agama, dalam rapat Panitia penyusun UUD tanggal 15 Juli 1945 pukul 22.20, Mr.Latuharhary juga menanggapi pernyataan anggota Abdul Fatah Hasan tentang pasal 28 ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing”. Mr. Latuharhary mengatakan kalau bunyinya: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang beragama lain”, maka artinya menjadi hilang. Sebab maksud Panitia, menghormati agama bukan menghormati orang yang memeluk agama. Jadi, kalau diganti dengan “untuk yang memeluk”artinya berlainan; oleh sebab itu saya ada keberatan. Saya minta supaya ayat itu bunyinya tetap seperti yang diajukan oleh Panitia Kecil itu”.

Parpol-parpol Kristen dalam Panggung Politik Indonesia
Partai politik selalu dipahami sebagai alat untuk merealisasikan partisipasi politik. Parpol juga dipakai sebagai alat untuk merebut kekuasaan di parlemen secara konstitusional. Setidaknya, parpol bisa menjadi alat representesi perjuangan aspirasi rakyat atau kelompok rakyat dalam suatu bangsa, dalam komunitas Kristen misalnya Parkindo.

Selama pemerintahan Presiden Soekarno, PARKINDO selalu terwakili dalam Kabinet. Posisi yang sering diberikan kepada PARKINDO adalah sebagai Menteri Kesehatan. Hanya pada tiga Kabinet PARKINDO tidak terwakili yaitu pada:

Kabinet I - Kabinet Presidensiel pimpinan PM.Mohamad Hatta (tanggal 2 September – 14 November 1945).
Kabinet PM Soesanto (Kabinet Peralihan) 29 Desember 1949 – 21 Januari 1950 dan
Kabinet PM Ali Sastroamidjojo I: 1 Agustus 1953 – 12 Agustus 1955.

Tokoh PARKINDO Dr.J.Leimena sejak Dekrit 5 Juli 1959 selalu dipakai Presiden Soekarno dalam pemerintahannya. Dalam Kabinet Karya (1959) pimpinan Djuanda, Dr.J.Leimena menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Utama II. Presiden Soekarno menggunakan istilah Menteri Utama untuk jabatan Perdana Menteri karena setelah kembali ke UUD 1945, Presiden selain sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Pemerintahan. Ketika Presiden Soekarno merombak kabinet pada tahun 1960, Dr.J.Leimena kembali diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II. Dr.J.Leimena juga sering menjadi Pejabat Presiden selama Presiden Soekarno keluar negeri. Tidak kurang dari tujuh kali Dr.Leimena dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Pejabat Presiden selama pemerintahan Soekarno.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, PARKINDO hanya sekali terwakili dalam Kabinet sesudah Pemilihan Umum 1971 yaitu dalam Kabinet Pembangunan I ( 1973 -1978) sebagai Menteri Sosial yang dijabat oleh Dr. A.M.Tambunan SH.

Kemudian di zaman reformasi muncul sejumlah partai berbasis Kristen, antaranya PKD, PDKB, PDS, Krisna dan PKDI.

Partai Kristen Demokrat (PKD) lahir/ berdiri dilatar belakangi oleh kondisi kehidupan Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi seperti lemahnya penegakan hukum, bahaya disintegrasi, demoralisasi serta degradasi nasionalisme.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, telah bangkit gerakan reformasi untuk merekonstruksi sendi-sendi kehidupan bangsa yang telah carut-marut, namun dalam kenyataannya justru kerusuhan semakin marak, tindak kekerasan makin meluas dan adanya pelanggaran hak asasi manusia.

Situasi ini menggugah nurani kristiani sejumlah tokoh Krsten untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa ini. Perjuangan Partai Kristen Demokrat (PKD) tidak didasarkan pada besarnya uang yang dimiliki, melainkan atas besarnya keyakinan akan pimpinan dan penyertaan Tuhan.

Menjadi berkat bagi negeri tercinta ini adalah tujuan pendirian Partai Kristen Demokrat (PKD) yaitu mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran Politik Kristen di Indonesia
Kehadiran gereja Kristen di Indonesia, dalam pemikiran dan gerakannya bagaimanapun telah memberi sumbangan yang cukup besar bagi perjalanan sejarah negara ini. Ke depan, refleksi teologis terhadap peran gereja di bidang politik, hendaknya lebih diarahkan pada usaha pemerdekaan dan pembebasan yang seutuhnya bagi rakyat yang tertindas demi Indonesia yang sejahtera.

Dalam tulisannya, Ngelow mengutip apa yang pernah dikatakan Ds. Basoeki Probowinoto di tahun 1945 yang berbunyi: “Ketinggian Nama Toehan itoelah toedjoean jang terachir dari segala machloek dan segala oesaha manoesia, djoega didalam lapangan politiek. Politiek Kristen tidak semata-mata ditoedjoekan pada keoentoengan doeniawi, bagi politiek Kristen jang mendjadi oekoeran kebesarannja boekanlah hasil doeniawi jang diperoleh, akan tetapi apakah didalam segala oesahanja itoe partij mengandjoerkan, mempertahankan dan menjalankan azas2 dari Firman Toehan.”

Seperti itulah kira-kira tujuan dari peran pemikiran dan aksi politik Kristen dalam konteks Indonesia. Ketika Probowinoto mengatakan itu, negara ini sedang dalam gejolak politik, terutama ketegangannnya dengan bangsa penjajah. Dalam konteks sekarang, 63 tahun dari zaman Probowinoto itu, Indonesia masih dalam konteks bergejolak. Meski memang yang dihadapi bukanlah lagi peperangan fisik, namun Indonesia sekarang ini harus bertarung hebat melawan diri sendiri. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ancaman terorisme, yang kesemuanya itu mengakibatkan munculnya kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial serta ketidakamanan, adalah musuh besar Indonesia sekarang ini.

Maka, politik Kristen akhirnya harus diarahkan dalam usaha mengatasi dan memperjuangkan hak-hak hidup rakyat di negara ini. Sehingga, mestinya, antara iman Kristen dan politik bertemu dalam keprihatinan umat Kristen terhadap kondisi-kondisi yang memprihatinkan itu. Ini juga sekaligus akan mengkoreksi pemikiran yang terlanjur menjadi main stream dalam benak kebanyakan orang bahwa politik tidak suci dan kotor. Kalau akhirnya, politik diarahkan pada usaha pembelaan dan pemberdayaan hak-hak kemanusiaan dan kelestarian alam, maka politik itu akan menjadi mulia. Ternyata, ini akhirnya harus dikembalikan kepada manusia itu sendiri dalam dia memperlakukan dan memaknai politik itu.

Andreas Yewangoe (dalam www.pgi.or.id) melalui sebuah artikelnya mengatakan, “Sebagai umat Kristen, kita beriman kepada Allah sebagaimana diungkapkan di dalam Yesus Kristus dan secara terus-menerus diaktualisasikan melalui perbuatan kita oleh bantuan Roh Kudus.”

Lebih tegasnya Yewangoe mengatakan, dengan demikian perbuatan politik kita pun mestinya merupakan aktualisasi iman tersebut. Bahkan mengutip Karl Barth, dalam bukunya yang berjudul Rechtfertigung und Recht, Yewangoe mengatakan, ini mengindikasikan bahwa kekristenan hanya mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap politik. “Ia kurang lebih mengatakan, ‘Bukan dengan melakukan politik, tetapi dengan menjadi gereja pun, maka gereja telah melakukan politik,’” tulis Yewangoe.

Gereja berpolitik, menurut Yewangoe adalah panggilan untuk ikut serta membangun polis di mana gereja berada. Dan ukuran politik gereja adalah apa yang ideal hari ini.

Sementara menurut Yewangoe, politik itu sendiri bisa diartikan dua hal. Pertama, sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam dan membangun polis (kota) di mana kita hidup di dalamnya dengan siapa pun. Dalam pengertian kedua, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuatan politik (Belanda; politieke machtstrijd). “Setiap partai politik tentu merumuskan tujuannya berpolitik, yaitu sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bersama (dan kesejahteraan anggota-anggotanya). Guna mencapai tujuan ini, maka program politik dirumuskan di mana kekuasaan dipakai untuk mencapainya. Diharapkan partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan itu yang diindikasikan melalui persetujuan di dalam pemilihan umum,” tulis Yewangoe.(tim redaksi)

POLITIK DAN PEREMPUAN

Oleh: Augustien Kapahang Kaunang*

Seorang ibu yang suaminya bertugas sebagai Hukum Tua bercerita tentang penyaluran ‘raskin’ di desanya. Ia ‘terpaksa’ membantu atau lebih tepat mengambil peran aktif dalam penentuan, penyaluran dan menyusun pertanggungjawaban ‘raskin’ tersebut. Hal ini dilakukannya sebab dari segi tingkat pendidikan, ia lebih dari suaminya. Ia lebih berani berhadapan dengan sang pengawas (Banwas) yang datang memeriksa penyaluran raskin yang meminta uang jalan. Ia ‘mempengaruhi’ hukum tua untuk tidak memberi uang jalan seperti yang diminta sang pengawas. Tentang penyaluran itu, ada kesulitan bila mengikuti ketentuan per KK penerima raskin yaitu memperoleh 15 kg. Padahal dalam satu karung beras 20 kg yang tiba di desanya tidak lagi seberat 20 kg. Untuk itu, penyalur harus dapat membuat kebijakan untuk mengatur dengan baik (meski tidak benar), yaitu hanya membagikan per KK 15 liter, konsekuensinya ada sekian liter yang tersisa. Kemudian kebijakan dirubah lagi yaitu memberi satu karung (tercatat 20 kg) per satu KK. Kebijakan ini terpaksa berakibat tidak semua KK mendapatkan jatahnya. Diaturlah secara bergiliran. Pergumulannya ialah : apakah ini kebijakan yang betul? Apakah di sini ada indikasi korupsi? Siapa yang salah di sini?

Nah … penuturan ibu ini menjadi pengantar tulisan ini. Mari kita meneliti lebih jauh tentang kenyataan penyaluran raskin seperti ini. Kitapun dapat menganalisis peran ibu ini dalam ‘menata’ hidup di desanya dan keberaniannya untuk mengatakan tidak terhadap pemintaan sang pengawas raskin.

Politik berasal dari kata bahasa Yunani yaitu polis yang secara harfiah berarti kota yang kemudian berkembang artinya menjadi negara (band. Sirait, 2001:22). Dari asal usul kata ini, dikembangkanlah berbagai pengertian tentang politik.

Politik dapat dipahami sebagai :
1. Seni memerintah untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendirikan negara. Dalam pengertian inilah, orang berbicara mengenai politik praktis.
2. Kemauan bersama untuk membangun dan memelihara polis, tempat di mana kehidupan bersama dapat dibina dan dipupuk,
3. suasana di mana setiap orang yang berhendak baik dapat saling membina dan membangun dirinya masing-masing bagi kesejahteraan polis itu sendiri.

Atas dasar tiga pengertian ini, maka setiap orang sadar atau tidak terlibat dalam politik. Keterlibataan dalam politik ini adalah suatu panggilan (Yewangoe, 2002:162).

Mengapa artikel ini diberi judul politik dan perempuan, bukan politik dan manusia.
Ada dua alasan utama :
1. Perempuan sebagai manusia kawan sekerja Allah di bumi ini ( bersama dengan kaum laki-laki) mayoritas masih diposisikan dan atau memposisikan untuk hal-hal tertentu, seperti a.l. bekerja atau berkarya di dapur, rumah, rumah sakit, pelayan toko/restoran, usaha-usaha sosial karitatif, resepsionis di kantor-kantor, sekretaris bos di perusahaan/usaha perorangan.
2. Perempuan adalah kaum yang mayoritas mengalami kehidupan yang tidak layak, seperti menjadi korban kekerasan, perdagangan (trafiking). Data yang dihimpun oleh LSM Swara Parangpuan berdasarkan berita media masa di Sulawesi Utara ini menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2002 ke tahun 2003 meningkat (tahun 2002 terlapor 376 kasus, Januari-Juni 2003 terlapor 314 kasus). Trafiking dapat melalui cara direkrut, dikumpulkan, dikirim, dipekerjakan dengan tujuan eksploitasi (pemerasan, penghisapan) untuk suatu pekerjaan tertentu maupun untuk suatu pekerjaan dalam kegiatan seks komersial. Trafiking juga bisa terjadi tanpa dikirim keluar daerah/negeri, tetapi terjadi dalam desa/kota dan daerah sendiri bahkan dalam keluarga sendiri. Hal yang terakhir ini diungkapkan oleh beberapa peserta dalam acara seminar dan lokakarya menyongsong ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pemberantasan Trafiking Perempuan dan Anak di Provinsi Sulawesi Utara pada hari Kamis, 20 November 2003.

Dua kenyataan di atas ini, disebabkan oleh masih adanya pandangan hidup yang mendiskriminasi perempuan dalam banyak hal terutama dalam peran-peran publik. Padahal hal-hal ini tidak seharusnya terjadi dalam kehidupan bersama terutama di daerah kita ini. Sebab baik budaya Minahasa maupun agama yang kita anut mengajarkan agar manusia perempuan dan laki-laki hidup harmonis dalam kesetaraan. Hal inilah yang saya selalu sebutkan bahwa secara teologis (theological will) kita punya dasar untuk menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Baik perempuan maupun laki-laki bertanggung jawab bersama dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan. Sekarang, persoalannya ialah apakah kehendak teologis ini mempengaruhi kehendak politis (political will) kita dalam menata kehidupan bersama? Dan pertanyaan yang lebih spesifik lagi ialah apakah paham budaya dan agama kita dibawa dalam ranah politik praktis untuk kehidupan yang layak dari kaum perempuan? Bukankah para anggota dewan perwakilan rakyat di daerah kita adalah orang Minahasa yang beragama?

Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul, sebab realitas kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan yang ditangani oleh RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Polda, Rumah Sakit, LSM menemui kendala a.l. dalam hal pembiayaan. Pada umumnya mereka yang mengalami kekerasan ini adalah anggota masyarakat yang lemah ekonomi. Untuk itulah antara lain beberapa LSM yang peduli dengan perempuan dan anak bersama dengan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tim Penggerak Provinsi Sulut secara sistematis mendiskusikan penanggulangan dan penanganan masalah ini. Sebagai solusinya ialah antara lain ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pemberantasan Trafiking oleh di DPRD Sulut.

Nah, salah satu cara agar segala peraturan daerah betul-betul tidak diskriminatif terhadap perempuan atau yang memperhatikan harkat dan martabat kaum lemah ialah terwakilinya kaum perempuan secara maksimal baik kualitas maupun kuantitas dalam pengambilan keputusan di DPRD kota/kabupaten/provinsi bahkan pusat.

Minimal 30% keterwakilan perempuan di legislative lebih merupakan salah satu strategi dalam memberdayakan potensi kaum perempuan yang setara dengan kaum laki-laki, yang selama ini diborong/dimonopoli oleh kaum laki-laki.

Sebab pada prinsipnya, siapa saja entah laki-laki atau perempuan hendaknya memperjuangkan kehidupan yang layak untuk semua orang tanpa diskriminasi jender (entah perempuan entah laki-laki). Artinya, baik laki-laki maupun perempuan di legislatif mempunyai fungsi yang sama untuk menata kehidupan bersama tanpa pembedaan yang berakibat pada terjadinya kekerasan satu terhadap yang lain tanpa solusi yang tuntas.

Sekarang, pertanyaan kita ialah apakah ada kaum perempuan yang mampu mengisi target minimal 30% ini yang berkualifikasi seperti yang diharapkan? Pasti ada. Sebab dari segi sumber daya manusia, Sulawesi Utara mempunyai peringkat yang bagus dalam indeks pembangunan dan gender, bahkan tingkat pendidikan khususnya untuk perempuan, lebih tinggi dari rata-rata nasional (UNDP/BPS,2001:78,80,82). Bahkan dalam penelitian saya pada tahun 80-an diperoleh data bahwa pada tahun 1989, perempuan yang berpendidikan Sarjana di Sulawesi Utara tercatat lebih besar jumlahnya dari laki-laki. Apalagi sekarang di awal abad 21 ini. Makin banyak perempuan yang berpendidikan tinggi. Tetapi, sayang sekali, untuk terjun dalam bidang politik praktis, kulifikasi ijazah pendidikan tinggi bukanlah syarat. Biar pendidikan tinggi, kalau tak punya dana untuk kampanye tidak mungkin. Lebih daripada itu, pendidikan tinggi belum juga menjamin moralitas seseorang yaitu dapat berpolitik praktis yang sesungguhnya.

Pasti ada perempuan yang mampu, tetapi apakah mereka mau? Di sini letak soalnya. Memang sudah ada yang mampu dan mau, tetapi baru sedikit (sekitar 9%). Inipun terjadi karena faktor pendukung seperti dana dan fasilitas yang memang sudah dimilikinya. Tetapi bagaimana dengan mereka yang mampu dan mau, tetapi tidak ada dana dan fasilitas pendukung? Hal ini hanya akan terjadi antara lain bila budaya kolusi, nepotisme dan money poltics dihilangkan dalam proses kampanye dan pemilihan legislatif.

Keberpihakan kepada mereka yang lemah, susah, miskin dan menderita karena struktur masyarakat yang paling banyak dialami oleh kaum perempuan dan untuk pembangunan manusia seutuhnya, hendaknya menjadi concern yang utama dan serius dari para pengambil keputusan. Bukan sebaliknya, para pengambil keputusan menggebu-gebu merancang anggaran belanja untuk pendapatannya bagi kantongnya sendiri.

Saya ingat sharing seorang teman mantan anggota legislative di tahun 90-an. Ia menceritakan perjuangannya dalam mengaspirasikan kepentingan masyarakat dan pembangunan yang jujur, adil dan transparan. Ia malah dicemooh temannya dengan berkata, “ibu salah masuk.” Bila cemoohan ini mewakili pandangan sebagian besar anggota dewan, maka kita bisa bayangkan kualitas keputusan menyangkut program dan anggaran serta proses monitoring pelaksanaannya di lapangan. Tidak heran KKN masih jalan terus. Tidak heran orang menyatakan bahwa politik itu kotor. Tidak heran masih banyak orang yang tidak yakin akan peran seorang yang ditahbiskan pendeta menjadi anggota legislatif. Apakah ia dapat tetap memperjuangkan kepentingan masyarakat? Kenyataan ada orang yang berucap, “Ya pandita so ta iko arus”. Tidak heran ada orang berkata pendeta jangan menjadi aktivis partai dan menjadi anggota legislatif, karena itu bukan tempatnya pendeta dan orang-orang yang jujur. Wah … wah … wah

Dasar teologis (Kristen) kita jelas. Bahwa manusia (perempuan dan laki-laki) diciptakan oleh Tuhan untuk mengusahakan dan memelihara bumi ini (Kejadian 2:15). Tuhan memberi mandat kepada manusia untuk menata tempat tinggalnya: kotanya, negaranya; dan dengan demikian manusia sendiri yang menata kehidupannya (kolektif bukan pribadi). Kita ingat sejarah umat Israel seperti yang disaksikan dalam Alkitab. Mereka sendiri harus bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, kesejahteraan bersama. Untuk itu Tuhan Allah memberi pedoman hidup melalui berbagai peraturan.

Atas dasar teologis ini, setiap orang (perempuan dan laki-laki) mau atau tidak terlibat dalam proses penataan hidup bersama sesuai kehendak-Nya. Penataan hidup bersama ini yang oleh Negara dipercayakan kepada antara lain DPR sebagai pembahas dan pengambil keputusan terakhir dari berbagai aturan, program dan anggaran yang dirancang oleh eksekutif.

Perempuan dalam kiprahnya di bidang politik praktis, dapat belajar dari Debora, Wasti dan Ester. Debora sebagai seorang nabi dan juga seorang hakim/pemimpin umat pada masa itu menjalankan tugasnya sesuai kehendak Tuhan. Wasti sebagai isteri raja berani menolak perintah raja yang adalah suaminya sebab kecantikannya bukan untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Ester sebagai seorang isteri raja, dapat mempengaruhi keputusan suaminya sebagai seorang raja yaitu untuk keselamatan orang lain. Saya ingat cerita seorang ibu dalam pendahuluan tulisan ini. Wah … mustinya si ibu ini yang jadi hukum tua. Wasti dan Ester adalah contoh yang baik untuk kaum perempuan yang cantik, pejabat dan isteri seorang pejabat untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan dan untuk keselamatan bangsa yang sedang berada di ujuk tanduk kepunahan.

Dorongan dan sokongan bagi kaum perempuan yang mampu dan mau berkarya di bidang politik praktis harus kita berikan tempat seluas-luasnya dan sebesar-besarnya. Kaum perempuan yang mampu dan mau, beranilah menyatakan kebenaran, keadilan dan kejujuran untuk semua orang tanpa diskriminasi. Perbaiki citra buruk tentang politik, agar polis kita menjadi tempat yang indah dalam memaknai kehidupan yang Tuhan berikan selama hayat dikandung badan dan kegiatan politik menjadi arena pelayanan yang halal bagi siapapun yang bertalenta di bidang ini.



* Pendeta GMIM, Dekan Fakultas Teologi UKIT





















Kamis, 04 September 2008

PELAJARAN BERHARGA DARI BALIK GUNUNG


Oleh : Vera Solung-Loupatty

Yalimo merupakan sebuah kabupaten baru di Provinsi Papua yang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya pada tanggal 21 Juni 2008. Kabupaten Yalimo terdiri dari 5 distrik/kecamatan, yaitu Elelim, Abenahu, Apalapsili, Welarek dan Benawa, dengan luas sekitar 1.260 km2. Jumlah penduduk di kabupaten ini sekitar 36.000 orang. Jarak antar distrik sangatlah jauh. Ada yang bisa ditempuh dengan jalan darat (kendaraan dan jalan kaki) dan ada yang bisa ditempuh dengan pesawat berpenumpang 4-8 orang. Dua distrik (Elelim dan Abenaho) dapat ditempuh melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang sulit. Hanya mobil 4 wheel drive/4 x 4 (double gardan) yang dapat dipakai untuk melalui jalan darat, bahkan lebih aman menggunakan mobil yang bertenaga turbo karena kondisi jalan yang sulit, yakni melalui lereng-lereng terjal, gunung-gunung yang tinggi dan berkabut (sekitar 4000 m di atas permukaan laut) bahkan derasnya aliran sungai. Tiga distrik lainnya hanya bisa dicapai melalui jalan setapak (bukan jalan mobil) yang terjal dan sulit. Perjalanan melalui jalan setapak ini membutuhkan waktu berhari-hari karena melalui gunung-gunung yang tinggi dan terjal dan hutan rimba yang lebat.

Jarak antara Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) dan Elelim (ibukota Kabupaten Yalimo, yang menjadi tujuan perjalanan ini)) kurang lebih 140 km. Sebenarnya jarak ini tidak terlalu jauh, tapi membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 7 jam dengan kendaraan karena kondisi jalan yang sulit.

Di tiap distrik (antara lain seperti: Elelim, Apalapsili, Welarek) sudah ada lapangan terbang rumput yang dibuat oleh badan-badan misi yang bekerja di Papua maupun oleh GKI di Tanah Papua untuk kepentingan pelayanan. Lapangan-lapangan terbang ini hanya bisa didarati oleh pesawat-pesawat kecil yang berpenumpang 4 sampai 8 orang. Ini cukup mempermudah transportasi ke daerah-daerah tersebut. Penerbangan ke daerah-daerah ini yang biasa dilakukan oleh penerbangan Mission Aviation Fellowship tidak secara reguler, tetapi berdasarkan permintaan atau carteran.

Dalam perjalanan menuju Elelim, ada satu pertanyaan di benak saya, ”Benarkah ada ’kehidupan’ di sana?” Pertanyaan tersebut muncul karena untuk mencapai Elelim harus melewati lapisan pegunungan yang dihiasi oleh lebatnya hutan perawan dan sulitnya medan. Namun ternyata ketika tiba di sana, saya justru menjumpai kehidupan yang sangat bersahaja, baik karena alam yang begitu indah maupun keramah-tamahan penduduknya. Pada pagi dan malam hari, deretan pegunungan bagaikan pagar yang mengelilingi rumah sehingga terasa amanlah penghuni di dalamnya. Bagi saya (dan kami yang berkunjung ke sana) terajak untuk merenungi betapa indah dan berharga alam ciptaan Tuhan. Setiap bertemu dengan penduduk setempat, mereka akan memberi salam dan jabatan tangan. Ini membuat saya kagum dengan mereka, sebab sekalipun mereka tinggal di tempat yang dikelilingi barisan pegunungan yang tinggi dan hutan yang lebat, tetapi mereka memiliki rasa hormat yang tinggi kepada sesama manusia.

Kabupaten Yalimo sering disebut juga sebagai wilayah Gereja dalam hal ini Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI di Tanah Papua). Hal ini mengartikan bahwa orang-orang Yalimo yang terdiri dari satu suku, yaitu suku Yali mengenal peradaban dari pelayanan Gereja. Sehubungan dengan hal ini, peran para pendeta, penginjil (lokal dan luar negeri) sangatlah penting. Oleh karena peran para hamba Tuhan inilah, meskipun mereka tinggal di balik gunung, tetapi hidup mereka sangat bersahaja. Injil Yesus Kristus begitu kuat mempengaruhi kehidupan mereka. Sehubungan dengan hal ini, saya sangat tertarik dengan peran penginjil lokal. Mereka menginjili orang-orang yang belum mengenal Injil dan berusaha untuk mendampingi mereka yang telah menerima Injil sekalipun mereka harus berjalan kaki berhari-hari, membiarkan diri hanyut dibawa arus untuk mencapai lokasi-lokasi tertentu, tanpa peduli dana penunjang yang minim bahkan sering tersendat-sendat dan binatang buas yang berkeliaran di hutan. Pemberian diri mereka telah membuat begitu banyak orang dapat mengenal Injil dan peradaban, padahal jujur saja, mereka sangat sulit tersentuh oleh peradaban karena sulitnya untuk mencapai mereka. Oleh sebab itulah, saya hanya menjumpai sedikit orang yang masih menggunakan koteka dan tidak menjumpai kaum perempuan yang tidak berpakaian, tetapi dalam acara-acara tertentu, mereka akan tampil dengan berpenampilan khas suku Yali (laki-laki menggunakan koteka, perempuan bertelanjang dada dan mengenakan kam ataupun semacam rok yang terbuat dari tali hutan/tali rafia untuk menutupi aurat). Tidak kalah menarik juga peran misionaris yang telah menghasilkan Alkitab PL dan PB dalam bahasa Yali. Hal ini menggugah hati saya sebagai seorang Pendeta dengan beberapa pertanyaan, apakah saya benar-benar telah memberi diri untuk memanusiakan sesama manusia dalam konteks pelayanan saya? Apakah uang harus selalu dijadikan tolok ukur dalam melayani ??? Saya juga tertarik tentang kampak, kam dan noken. Kampak digunakan digunakan oleh laki-laki untuk bekerja/memotong kayu. Kam digunakan untuk menutupi aurat perempuan. Noken adalah tas yang aslinya terbuat dari tali kayu. Saya melihat pada umumnya, kaum perempuan yang memakai noken. Caranya : tali noken diletakkan di kepala dengan posisi noken di belakang bukan di depan. Ubi-ubian dan benda-benda lainnya bahkan seorang bayi dapat diletakkan di dalamnya.
Saya terkesima dengan penjelasan seorang Kepala Suku khususnya tentang kampak dan noken. Kampak merupakan simbol bahwa seorang laki-laki harus pergi bekerja, misalnya ia harus menanam di kebun. Seorang perempuan (dalam hal ini isteri), selain bekerja di rumah, ia juga harus menunjang suaminya dengan turut memelihara apa yang ditanam. Ketika panen tiba, seorang perempuan akan turut membawa hasil-hasil kebun dengan memasukkannya ke dalam noken lalu dibawa pulang ke rumah. Mereka yang tinggal dikelilingi oleh lapisan gunung ini, ternyata menyimpan falsafah hidup yang tidak terbentuk setelah melewati berbagai seminar, simposium ataupun lokakarya. Kehidupan yang penuh misteri di balik gunung ini tidak hanya menyimpan kekayaan alam yang sangat potensial untuk memajukan masyarakat, tetapi juga menyimpan kekayaan intelektual khususnya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Penulis, dosen Fakultas Teologi UKIT