Jumat, 05 September 2008

Peran Pemikiran dan Gerakan Politik Kristen di Indonesia


Bukanlah suatu kebetulan ketika gereja hadir dan berproses di bumi nusantara ini. Nusantara yang menjadi negara bernama Indonesia pada 17 Agustus 1945, adalah dunianya agama-agama. Kekristenan, baik sebagai nilai maupun sebagai institusi adalah salah salah dari keragaman yang Indonesia miliki itu. Sebelum negara ini berdiri, maupun ketika negara ini telah hadir sebagai sebuah institusi politik yang mengikat bangsa-bangsa, gereja yang membawa misi Yesus Kristus telah berproses dengan segala dinamika negara ini. Kehadiran gereja, tentu tak hanya soal pemikiran teologisnya, namun juga gerakan politik yang memberi nilai bagi perubahan dan pembaharuan Indonesia sebagai negara plural.

Dinamika Politik Kristen di Indonesia
Kekristenan telah sejak berabad-abad diperkenalkan di nusantara. Nilai Injil yang dilembagakan dalam gereja, telah dibawa masuk oleh bangsa-bangsa Barat, bersamaan dengan kepentingan kolonialisme di Indonesia, juga di dunia Timur lainnya. Meski begitu, akhirnya gereja menemukan dunianya yang bernama Indonesia dengan segala keragamannya. Gereja yang melembagakan nilai-nilai Injil akhirnya harus berproses dengan segala pemikiran dan gerakannya yang khas dengan persoalan Indonesia sepanjang sejarahnya.

Zakaria Ngelow, dalam http://www.geocities.com/jurnalintim, menuliskan beberapa perubahan bentuk peran partisipasi politik Kristen di Indonesia. Partisipasi politik Kristen berlangsung sejak gagasan Indonesia yang bersatu dan merdeka diperjuangkan dalam pergerakan nasional. Dan, itu tak sekali jadi. “Hubungan dan sikap gereja terhadap VOC dan pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya belum mempunyai bobot partisipasi politik, walaupun mempunyai maknanya sendiri dalam formasi Kekristenan di Indonesia.”

Ketika kesadaran atas kemerdekaan dan nasionalisme menemukan wujud dalam bentuk perlawanan fisik atau pemikiran terhadap penjajah, barulah gereja tersadar akan panggilan yang sesungguhnya, yang bukan hanya menyampaikan indahnya sorga, melainkan juga soal pentingnya kemerdekaan diri atas tekanan fisik dan pemikiran dari kaum penjajah. “Pada masa pergerakan nasional partisipasi politik Kristen segera diwujudkan ketika pemerintah kolonial memberi peluang bagi adanya kekuatan-kekuatan politik masyarakat di Indonesia untuk turut menentukan kebijakan pemerintah kolonial dengan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1917,” lanjut Ngelow.

Tapi pada mulanya, sebelum itu menjadi kesadaran bersama, telah berkembang kekuatan-kekuatan politik untuk melawan hegemoni dan imprealisme oleh bangsa penjajah. Gerakan perlawanan terjadi di tempat dan bentuk yang berbeda. Namun, semangatnya sama, yaitu menolak penjajahan atas diri dan tanah pijakan. “Sebelum itu memang telah berkembang kekuatan-kekuatan masyarakat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan yang berusaha memajukan diri dalam kerangka politik etis pemerintah kolonial. Kalangan Kristen mula-mula menghimpun kekuatannya dalam organisasi-organisasi kesukuan yang terbuka kepada kebersamaan dengan warga non-Kristen, sebagaimana a.l. dalam ormas-ormas Minahasa, Maluku dan Batak. Penekanannya pun belum politik secara langsung, melainkan emansipasi sosial dan ekonomi,” tulis Ngelow lagi.

Dalam perjalanannya, sikap politik Kristen, diawali dengan sebuah sikap yang pro kolonial. Ngelow menuliskan, Partai politik Kristen pertama di Indonesia CEP (Christelijk Etische Partij kemudian menjadi CSP, Christelijk Staatkundige Partij) dibentuk oleh kalangan Kristen Belanda dan kemudian melibatkan beberapa tokoh Kristen Indonesia (a.l. R.M. Notosoetarso, T.S.G. Mulia, Rehatta). “Pandangan politik CEP terhadap hubungan kolonial adalah mendukung gagasan perwalian, yakni bahwa hubungan kolonial adalah kehendak Tuhan dalam sejarah yang memberi kewajiban kepada Negeri Belanda untuk membimbing rakyat pribumi menuju kemandirian tanah jajahan yang tetap terikat dengan Negeri Belanda,” ungkapnya.

Tapi itu ternyata tidak diterima semua pihak. Kalangan progresif Kristen Indonesia yang mendukung perjuangan kemerdekaan merasa tidak sama dengan sikap politik yang pro kolonial itu. Kelompok yang progresif ini kemudian memilih bergabung dengan partai-partai sekuler. “Kalangan ‘Kristen pribumi’ dalam CSP memisahkan diri namun tidak berkembang karena tanpa perubahan visi politik pro-kolonial, dan karena batas-batas etnis yang masih sangat kental. Sumbangan positif partai Kristen yang didominasi orang Belanda ini adalah sekadar tempat latihan berpolitik, sebagaimana juga Volksraad bagi banyak politisi Indonesia dari golongan cooperatie (yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial dalam memperjuangkan masa depan Indonesia)” jelas Ngelow.

Di awal abad 20, tulis Ngelow, kalangan intelektual muda Kristen dalam lingkaran gerakan mahasiswa Kristen (CSV, Christen Studenten Vereeniging) memperoleh pengarahan dari sejumlah tokoh Kristen Belanda yang progresif untuk memihak pada pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tokoh di dalamnya adalah J. Leimena (1905-1977). “Dalam kiprahnya, mereka terbagi atas yang berpartisipasi di bidang politik melalui partai politik Kristen dan yang memilih partai politik sekuler. Memang sejak masa pergerakan nasional ditempuh berbagai jalur partisipasi politik, di dalam dan di luar partai Kristen. Politikus ulung seperti Amir Sjarifuddin justru memilih berkiprah di dalam lingkaran sosialis-komunis,” tulis Ngelow.

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) menulis di situsnya sejumlah peran pemikiran dan aksi para tokoh Kristen di masa-masa awal kelahiran Indonesia. Antara lain, bahwa dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggota 60 orang terdapat 3 (tiga) orang tokoh Kristen yaitu Mr.A.A.Maramis, Mr. Johanes Latuharhary dan Parada Harahap. Selain sebagai anggota BPUPKI, mereka juga terpilih sebagai anggota Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar yang diketuai Ir.Soekarno. Ketiga tokoh Kristen ini juga berada di antara 19 orang anggota Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar.

Agar semua unsur bisa terwakili dalam Panitia Penyusun Rancangan Undang-Undang Dasar, Ir.Soekarno selaku Ketua Panitia menambah wakil-wakil dari daerah. Terpilihlah 2(dua) tokoh Kristen lagi yaitu Dr.Sam Ratulangi mewakili Celebes (sekarang Sulawesi) dan Dr.J.Leimena mewakili Maluku.Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 18 Agustus 1945 pukul 11.16, Dr. Sam Ratulangi mempersoalkan dua hal penting yaitu : Pertama, Masalah Anggaran Belanja Negara yaitu bagaimana kalau Anggaran Belanja yang disampaikan Pemerintah ke DPR ditolak. Karena dalam Rancangan UUD belum ada pasal yang mengatur hal tersebut. Dr.Sam Ratulangi mengusulkan: apabila DPR menolak Anggaran Belanja yang diajukan Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun sebelumnya. Usul tersebut diterima menjadi pasal 23 UUD yang berbunyi : “ ….. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun sebelumnya”. Kedua, masalah dekonsentrasi serta desentralisasi. Dr Sam Ratulangi mengusulkan : agar daerah-daerah diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri. Tentu dengan persetujuan bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia dari satu Negara. Biarpun demikian kebutuhan, keperluan daerah-daerah di sana harus mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dengan mengadakan suatu peraturan yang akan menyerahkan kepada pemerintahan daerah kekuasaan penuh untuk mengurus keperluan daerahnya sendiri.

Selain Dr.Sam Ratulangi, ketika membicarakan pasal tentang agama, dalam rapat Panitia penyusun UUD tanggal 15 Juli 1945 pukul 22.20, Mr.Latuharhary juga menanggapi pernyataan anggota Abdul Fatah Hasan tentang pasal 28 ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing”. Mr. Latuharhary mengatakan kalau bunyinya: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang beragama lain”, maka artinya menjadi hilang. Sebab maksud Panitia, menghormati agama bukan menghormati orang yang memeluk agama. Jadi, kalau diganti dengan “untuk yang memeluk”artinya berlainan; oleh sebab itu saya ada keberatan. Saya minta supaya ayat itu bunyinya tetap seperti yang diajukan oleh Panitia Kecil itu”.

Parpol-parpol Kristen dalam Panggung Politik Indonesia
Partai politik selalu dipahami sebagai alat untuk merealisasikan partisipasi politik. Parpol juga dipakai sebagai alat untuk merebut kekuasaan di parlemen secara konstitusional. Setidaknya, parpol bisa menjadi alat representesi perjuangan aspirasi rakyat atau kelompok rakyat dalam suatu bangsa, dalam komunitas Kristen misalnya Parkindo.

Selama pemerintahan Presiden Soekarno, PARKINDO selalu terwakili dalam Kabinet. Posisi yang sering diberikan kepada PARKINDO adalah sebagai Menteri Kesehatan. Hanya pada tiga Kabinet PARKINDO tidak terwakili yaitu pada:

Kabinet I - Kabinet Presidensiel pimpinan PM.Mohamad Hatta (tanggal 2 September – 14 November 1945).
Kabinet PM Soesanto (Kabinet Peralihan) 29 Desember 1949 – 21 Januari 1950 dan
Kabinet PM Ali Sastroamidjojo I: 1 Agustus 1953 – 12 Agustus 1955.

Tokoh PARKINDO Dr.J.Leimena sejak Dekrit 5 Juli 1959 selalu dipakai Presiden Soekarno dalam pemerintahannya. Dalam Kabinet Karya (1959) pimpinan Djuanda, Dr.J.Leimena menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Utama II. Presiden Soekarno menggunakan istilah Menteri Utama untuk jabatan Perdana Menteri karena setelah kembali ke UUD 1945, Presiden selain sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Pemerintahan. Ketika Presiden Soekarno merombak kabinet pada tahun 1960, Dr.J.Leimena kembali diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II. Dr.J.Leimena juga sering menjadi Pejabat Presiden selama Presiden Soekarno keluar negeri. Tidak kurang dari tujuh kali Dr.Leimena dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Pejabat Presiden selama pemerintahan Soekarno.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, PARKINDO hanya sekali terwakili dalam Kabinet sesudah Pemilihan Umum 1971 yaitu dalam Kabinet Pembangunan I ( 1973 -1978) sebagai Menteri Sosial yang dijabat oleh Dr. A.M.Tambunan SH.

Kemudian di zaman reformasi muncul sejumlah partai berbasis Kristen, antaranya PKD, PDKB, PDS, Krisna dan PKDI.

Partai Kristen Demokrat (PKD) lahir/ berdiri dilatar belakangi oleh kondisi kehidupan Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi seperti lemahnya penegakan hukum, bahaya disintegrasi, demoralisasi serta degradasi nasionalisme.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, telah bangkit gerakan reformasi untuk merekonstruksi sendi-sendi kehidupan bangsa yang telah carut-marut, namun dalam kenyataannya justru kerusuhan semakin marak, tindak kekerasan makin meluas dan adanya pelanggaran hak asasi manusia.

Situasi ini menggugah nurani kristiani sejumlah tokoh Krsten untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa ini. Perjuangan Partai Kristen Demokrat (PKD) tidak didasarkan pada besarnya uang yang dimiliki, melainkan atas besarnya keyakinan akan pimpinan dan penyertaan Tuhan.

Menjadi berkat bagi negeri tercinta ini adalah tujuan pendirian Partai Kristen Demokrat (PKD) yaitu mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran Politik Kristen di Indonesia
Kehadiran gereja Kristen di Indonesia, dalam pemikiran dan gerakannya bagaimanapun telah memberi sumbangan yang cukup besar bagi perjalanan sejarah negara ini. Ke depan, refleksi teologis terhadap peran gereja di bidang politik, hendaknya lebih diarahkan pada usaha pemerdekaan dan pembebasan yang seutuhnya bagi rakyat yang tertindas demi Indonesia yang sejahtera.

Dalam tulisannya, Ngelow mengutip apa yang pernah dikatakan Ds. Basoeki Probowinoto di tahun 1945 yang berbunyi: “Ketinggian Nama Toehan itoelah toedjoean jang terachir dari segala machloek dan segala oesaha manoesia, djoega didalam lapangan politiek. Politiek Kristen tidak semata-mata ditoedjoekan pada keoentoengan doeniawi, bagi politiek Kristen jang mendjadi oekoeran kebesarannja boekanlah hasil doeniawi jang diperoleh, akan tetapi apakah didalam segala oesahanja itoe partij mengandjoerkan, mempertahankan dan menjalankan azas2 dari Firman Toehan.”

Seperti itulah kira-kira tujuan dari peran pemikiran dan aksi politik Kristen dalam konteks Indonesia. Ketika Probowinoto mengatakan itu, negara ini sedang dalam gejolak politik, terutama ketegangannnya dengan bangsa penjajah. Dalam konteks sekarang, 63 tahun dari zaman Probowinoto itu, Indonesia masih dalam konteks bergejolak. Meski memang yang dihadapi bukanlah lagi peperangan fisik, namun Indonesia sekarang ini harus bertarung hebat melawan diri sendiri. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ancaman terorisme, yang kesemuanya itu mengakibatkan munculnya kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial serta ketidakamanan, adalah musuh besar Indonesia sekarang ini.

Maka, politik Kristen akhirnya harus diarahkan dalam usaha mengatasi dan memperjuangkan hak-hak hidup rakyat di negara ini. Sehingga, mestinya, antara iman Kristen dan politik bertemu dalam keprihatinan umat Kristen terhadap kondisi-kondisi yang memprihatinkan itu. Ini juga sekaligus akan mengkoreksi pemikiran yang terlanjur menjadi main stream dalam benak kebanyakan orang bahwa politik tidak suci dan kotor. Kalau akhirnya, politik diarahkan pada usaha pembelaan dan pemberdayaan hak-hak kemanusiaan dan kelestarian alam, maka politik itu akan menjadi mulia. Ternyata, ini akhirnya harus dikembalikan kepada manusia itu sendiri dalam dia memperlakukan dan memaknai politik itu.

Andreas Yewangoe (dalam www.pgi.or.id) melalui sebuah artikelnya mengatakan, “Sebagai umat Kristen, kita beriman kepada Allah sebagaimana diungkapkan di dalam Yesus Kristus dan secara terus-menerus diaktualisasikan melalui perbuatan kita oleh bantuan Roh Kudus.”

Lebih tegasnya Yewangoe mengatakan, dengan demikian perbuatan politik kita pun mestinya merupakan aktualisasi iman tersebut. Bahkan mengutip Karl Barth, dalam bukunya yang berjudul Rechtfertigung und Recht, Yewangoe mengatakan, ini mengindikasikan bahwa kekristenan hanya mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap politik. “Ia kurang lebih mengatakan, ‘Bukan dengan melakukan politik, tetapi dengan menjadi gereja pun, maka gereja telah melakukan politik,’” tulis Yewangoe.

Gereja berpolitik, menurut Yewangoe adalah panggilan untuk ikut serta membangun polis di mana gereja berada. Dan ukuran politik gereja adalah apa yang ideal hari ini.

Sementara menurut Yewangoe, politik itu sendiri bisa diartikan dua hal. Pertama, sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam dan membangun polis (kota) di mana kita hidup di dalamnya dengan siapa pun. Dalam pengertian kedua, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuatan politik (Belanda; politieke machtstrijd). “Setiap partai politik tentu merumuskan tujuannya berpolitik, yaitu sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bersama (dan kesejahteraan anggota-anggotanya). Guna mencapai tujuan ini, maka program politik dirumuskan di mana kekuasaan dipakai untuk mencapainya. Diharapkan partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan itu yang diindikasikan melalui persetujuan di dalam pemilihan umum,” tulis Yewangoe.(tim redaksi)

Tidak ada komentar: