Jumat, 05 September 2008

Peran Pemikiran dan Gerakan Politik Kristen di Indonesia


Bukanlah suatu kebetulan ketika gereja hadir dan berproses di bumi nusantara ini. Nusantara yang menjadi negara bernama Indonesia pada 17 Agustus 1945, adalah dunianya agama-agama. Kekristenan, baik sebagai nilai maupun sebagai institusi adalah salah salah dari keragaman yang Indonesia miliki itu. Sebelum negara ini berdiri, maupun ketika negara ini telah hadir sebagai sebuah institusi politik yang mengikat bangsa-bangsa, gereja yang membawa misi Yesus Kristus telah berproses dengan segala dinamika negara ini. Kehadiran gereja, tentu tak hanya soal pemikiran teologisnya, namun juga gerakan politik yang memberi nilai bagi perubahan dan pembaharuan Indonesia sebagai negara plural.

Dinamika Politik Kristen di Indonesia
Kekristenan telah sejak berabad-abad diperkenalkan di nusantara. Nilai Injil yang dilembagakan dalam gereja, telah dibawa masuk oleh bangsa-bangsa Barat, bersamaan dengan kepentingan kolonialisme di Indonesia, juga di dunia Timur lainnya. Meski begitu, akhirnya gereja menemukan dunianya yang bernama Indonesia dengan segala keragamannya. Gereja yang melembagakan nilai-nilai Injil akhirnya harus berproses dengan segala pemikiran dan gerakannya yang khas dengan persoalan Indonesia sepanjang sejarahnya.

Zakaria Ngelow, dalam http://www.geocities.com/jurnalintim, menuliskan beberapa perubahan bentuk peran partisipasi politik Kristen di Indonesia. Partisipasi politik Kristen berlangsung sejak gagasan Indonesia yang bersatu dan merdeka diperjuangkan dalam pergerakan nasional. Dan, itu tak sekali jadi. “Hubungan dan sikap gereja terhadap VOC dan pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya belum mempunyai bobot partisipasi politik, walaupun mempunyai maknanya sendiri dalam formasi Kekristenan di Indonesia.”

Ketika kesadaran atas kemerdekaan dan nasionalisme menemukan wujud dalam bentuk perlawanan fisik atau pemikiran terhadap penjajah, barulah gereja tersadar akan panggilan yang sesungguhnya, yang bukan hanya menyampaikan indahnya sorga, melainkan juga soal pentingnya kemerdekaan diri atas tekanan fisik dan pemikiran dari kaum penjajah. “Pada masa pergerakan nasional partisipasi politik Kristen segera diwujudkan ketika pemerintah kolonial memberi peluang bagi adanya kekuatan-kekuatan politik masyarakat di Indonesia untuk turut menentukan kebijakan pemerintah kolonial dengan pembentukan Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1917,” lanjut Ngelow.

Tapi pada mulanya, sebelum itu menjadi kesadaran bersama, telah berkembang kekuatan-kekuatan politik untuk melawan hegemoni dan imprealisme oleh bangsa penjajah. Gerakan perlawanan terjadi di tempat dan bentuk yang berbeda. Namun, semangatnya sama, yaitu menolak penjajahan atas diri dan tanah pijakan. “Sebelum itu memang telah berkembang kekuatan-kekuatan masyarakat dalam berbagai organisasi kemasyarakatan yang berusaha memajukan diri dalam kerangka politik etis pemerintah kolonial. Kalangan Kristen mula-mula menghimpun kekuatannya dalam organisasi-organisasi kesukuan yang terbuka kepada kebersamaan dengan warga non-Kristen, sebagaimana a.l. dalam ormas-ormas Minahasa, Maluku dan Batak. Penekanannya pun belum politik secara langsung, melainkan emansipasi sosial dan ekonomi,” tulis Ngelow lagi.

Dalam perjalanannya, sikap politik Kristen, diawali dengan sebuah sikap yang pro kolonial. Ngelow menuliskan, Partai politik Kristen pertama di Indonesia CEP (Christelijk Etische Partij kemudian menjadi CSP, Christelijk Staatkundige Partij) dibentuk oleh kalangan Kristen Belanda dan kemudian melibatkan beberapa tokoh Kristen Indonesia (a.l. R.M. Notosoetarso, T.S.G. Mulia, Rehatta). “Pandangan politik CEP terhadap hubungan kolonial adalah mendukung gagasan perwalian, yakni bahwa hubungan kolonial adalah kehendak Tuhan dalam sejarah yang memberi kewajiban kepada Negeri Belanda untuk membimbing rakyat pribumi menuju kemandirian tanah jajahan yang tetap terikat dengan Negeri Belanda,” ungkapnya.

Tapi itu ternyata tidak diterima semua pihak. Kalangan progresif Kristen Indonesia yang mendukung perjuangan kemerdekaan merasa tidak sama dengan sikap politik yang pro kolonial itu. Kelompok yang progresif ini kemudian memilih bergabung dengan partai-partai sekuler. “Kalangan ‘Kristen pribumi’ dalam CSP memisahkan diri namun tidak berkembang karena tanpa perubahan visi politik pro-kolonial, dan karena batas-batas etnis yang masih sangat kental. Sumbangan positif partai Kristen yang didominasi orang Belanda ini adalah sekadar tempat latihan berpolitik, sebagaimana juga Volksraad bagi banyak politisi Indonesia dari golongan cooperatie (yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial dalam memperjuangkan masa depan Indonesia)” jelas Ngelow.

Di awal abad 20, tulis Ngelow, kalangan intelektual muda Kristen dalam lingkaran gerakan mahasiswa Kristen (CSV, Christen Studenten Vereeniging) memperoleh pengarahan dari sejumlah tokoh Kristen Belanda yang progresif untuk memihak pada pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tokoh di dalamnya adalah J. Leimena (1905-1977). “Dalam kiprahnya, mereka terbagi atas yang berpartisipasi di bidang politik melalui partai politik Kristen dan yang memilih partai politik sekuler. Memang sejak masa pergerakan nasional ditempuh berbagai jalur partisipasi politik, di dalam dan di luar partai Kristen. Politikus ulung seperti Amir Sjarifuddin justru memilih berkiprah di dalam lingkaran sosialis-komunis,” tulis Ngelow.

Partai Kristen Indonesia (Parkindo) menulis di situsnya sejumlah peran pemikiran dan aksi para tokoh Kristen di masa-masa awal kelahiran Indonesia. Antara lain, bahwa dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggota 60 orang terdapat 3 (tiga) orang tokoh Kristen yaitu Mr.A.A.Maramis, Mr. Johanes Latuharhary dan Parada Harahap. Selain sebagai anggota BPUPKI, mereka juga terpilih sebagai anggota Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar yang diketuai Ir.Soekarno. Ketiga tokoh Kristen ini juga berada di antara 19 orang anggota Panitia Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar.

Agar semua unsur bisa terwakili dalam Panitia Penyusun Rancangan Undang-Undang Dasar, Ir.Soekarno selaku Ketua Panitia menambah wakil-wakil dari daerah. Terpilihlah 2(dua) tokoh Kristen lagi yaitu Dr.Sam Ratulangi mewakili Celebes (sekarang Sulawesi) dan Dr.J.Leimena mewakili Maluku.Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, tanggal 18 Agustus 1945 pukul 11.16, Dr. Sam Ratulangi mempersoalkan dua hal penting yaitu : Pertama, Masalah Anggaran Belanja Negara yaitu bagaimana kalau Anggaran Belanja yang disampaikan Pemerintah ke DPR ditolak. Karena dalam Rancangan UUD belum ada pasal yang mengatur hal tersebut. Dr.Sam Ratulangi mengusulkan: apabila DPR menolak Anggaran Belanja yang diajukan Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun sebelumnya. Usul tersebut diterima menjadi pasal 23 UUD yang berbunyi : “ ….. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan Pemerintah, maka Pemerintah menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun sebelumnya”. Kedua, masalah dekonsentrasi serta desentralisasi. Dr Sam Ratulangi mengusulkan : agar daerah-daerah diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya menurut pikirannya sendiri, menurut kehendaknya sendiri. Tentu dengan persetujuan bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia dari satu Negara. Biarpun demikian kebutuhan, keperluan daerah-daerah di sana harus mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dengan mengadakan suatu peraturan yang akan menyerahkan kepada pemerintahan daerah kekuasaan penuh untuk mengurus keperluan daerahnya sendiri.

Selain Dr.Sam Ratulangi, ketika membicarakan pasal tentang agama, dalam rapat Panitia penyusun UUD tanggal 15 Juli 1945 pukul 22.20, Mr.Latuharhary juga menanggapi pernyataan anggota Abdul Fatah Hasan tentang pasal 28 ayat 2 yang berbunyi : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing”. Mr. Latuharhary mengatakan kalau bunyinya: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang beragama lain”, maka artinya menjadi hilang. Sebab maksud Panitia, menghormati agama bukan menghormati orang yang memeluk agama. Jadi, kalau diganti dengan “untuk yang memeluk”artinya berlainan; oleh sebab itu saya ada keberatan. Saya minta supaya ayat itu bunyinya tetap seperti yang diajukan oleh Panitia Kecil itu”.

Parpol-parpol Kristen dalam Panggung Politik Indonesia
Partai politik selalu dipahami sebagai alat untuk merealisasikan partisipasi politik. Parpol juga dipakai sebagai alat untuk merebut kekuasaan di parlemen secara konstitusional. Setidaknya, parpol bisa menjadi alat representesi perjuangan aspirasi rakyat atau kelompok rakyat dalam suatu bangsa, dalam komunitas Kristen misalnya Parkindo.

Selama pemerintahan Presiden Soekarno, PARKINDO selalu terwakili dalam Kabinet. Posisi yang sering diberikan kepada PARKINDO adalah sebagai Menteri Kesehatan. Hanya pada tiga Kabinet PARKINDO tidak terwakili yaitu pada:

Kabinet I - Kabinet Presidensiel pimpinan PM.Mohamad Hatta (tanggal 2 September – 14 November 1945).
Kabinet PM Soesanto (Kabinet Peralihan) 29 Desember 1949 – 21 Januari 1950 dan
Kabinet PM Ali Sastroamidjojo I: 1 Agustus 1953 – 12 Agustus 1955.

Tokoh PARKINDO Dr.J.Leimena sejak Dekrit 5 Juli 1959 selalu dipakai Presiden Soekarno dalam pemerintahannya. Dalam Kabinet Karya (1959) pimpinan Djuanda, Dr.J.Leimena menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Utama II. Presiden Soekarno menggunakan istilah Menteri Utama untuk jabatan Perdana Menteri karena setelah kembali ke UUD 1945, Presiden selain sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Pemerintahan. Ketika Presiden Soekarno merombak kabinet pada tahun 1960, Dr.J.Leimena kembali diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II. Dr.J.Leimena juga sering menjadi Pejabat Presiden selama Presiden Soekarno keluar negeri. Tidak kurang dari tujuh kali Dr.Leimena dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Pejabat Presiden selama pemerintahan Soekarno.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, PARKINDO hanya sekali terwakili dalam Kabinet sesudah Pemilihan Umum 1971 yaitu dalam Kabinet Pembangunan I ( 1973 -1978) sebagai Menteri Sosial yang dijabat oleh Dr. A.M.Tambunan SH.

Kemudian di zaman reformasi muncul sejumlah partai berbasis Kristen, antaranya PKD, PDKB, PDS, Krisna dan PKDI.

Partai Kristen Demokrat (PKD) lahir/ berdiri dilatar belakangi oleh kondisi kehidupan Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi seperti lemahnya penegakan hukum, bahaya disintegrasi, demoralisasi serta degradasi nasionalisme.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, telah bangkit gerakan reformasi untuk merekonstruksi sendi-sendi kehidupan bangsa yang telah carut-marut, namun dalam kenyataannya justru kerusuhan semakin marak, tindak kekerasan makin meluas dan adanya pelanggaran hak asasi manusia.

Situasi ini menggugah nurani kristiani sejumlah tokoh Krsten untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa ini. Perjuangan Partai Kristen Demokrat (PKD) tidak didasarkan pada besarnya uang yang dimiliki, melainkan atas besarnya keyakinan akan pimpinan dan penyertaan Tuhan.

Menjadi berkat bagi negeri tercinta ini adalah tujuan pendirian Partai Kristen Demokrat (PKD) yaitu mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran Politik Kristen di Indonesia
Kehadiran gereja Kristen di Indonesia, dalam pemikiran dan gerakannya bagaimanapun telah memberi sumbangan yang cukup besar bagi perjalanan sejarah negara ini. Ke depan, refleksi teologis terhadap peran gereja di bidang politik, hendaknya lebih diarahkan pada usaha pemerdekaan dan pembebasan yang seutuhnya bagi rakyat yang tertindas demi Indonesia yang sejahtera.

Dalam tulisannya, Ngelow mengutip apa yang pernah dikatakan Ds. Basoeki Probowinoto di tahun 1945 yang berbunyi: “Ketinggian Nama Toehan itoelah toedjoean jang terachir dari segala machloek dan segala oesaha manoesia, djoega didalam lapangan politiek. Politiek Kristen tidak semata-mata ditoedjoekan pada keoentoengan doeniawi, bagi politiek Kristen jang mendjadi oekoeran kebesarannja boekanlah hasil doeniawi jang diperoleh, akan tetapi apakah didalam segala oesahanja itoe partij mengandjoerkan, mempertahankan dan menjalankan azas2 dari Firman Toehan.”

Seperti itulah kira-kira tujuan dari peran pemikiran dan aksi politik Kristen dalam konteks Indonesia. Ketika Probowinoto mengatakan itu, negara ini sedang dalam gejolak politik, terutama ketegangannnya dengan bangsa penjajah. Dalam konteks sekarang, 63 tahun dari zaman Probowinoto itu, Indonesia masih dalam konteks bergejolak. Meski memang yang dihadapi bukanlah lagi peperangan fisik, namun Indonesia sekarang ini harus bertarung hebat melawan diri sendiri. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ancaman terorisme, yang kesemuanya itu mengakibatkan munculnya kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial serta ketidakamanan, adalah musuh besar Indonesia sekarang ini.

Maka, politik Kristen akhirnya harus diarahkan dalam usaha mengatasi dan memperjuangkan hak-hak hidup rakyat di negara ini. Sehingga, mestinya, antara iman Kristen dan politik bertemu dalam keprihatinan umat Kristen terhadap kondisi-kondisi yang memprihatinkan itu. Ini juga sekaligus akan mengkoreksi pemikiran yang terlanjur menjadi main stream dalam benak kebanyakan orang bahwa politik tidak suci dan kotor. Kalau akhirnya, politik diarahkan pada usaha pembelaan dan pemberdayaan hak-hak kemanusiaan dan kelestarian alam, maka politik itu akan menjadi mulia. Ternyata, ini akhirnya harus dikembalikan kepada manusia itu sendiri dalam dia memperlakukan dan memaknai politik itu.

Andreas Yewangoe (dalam www.pgi.or.id) melalui sebuah artikelnya mengatakan, “Sebagai umat Kristen, kita beriman kepada Allah sebagaimana diungkapkan di dalam Yesus Kristus dan secara terus-menerus diaktualisasikan melalui perbuatan kita oleh bantuan Roh Kudus.”

Lebih tegasnya Yewangoe mengatakan, dengan demikian perbuatan politik kita pun mestinya merupakan aktualisasi iman tersebut. Bahkan mengutip Karl Barth, dalam bukunya yang berjudul Rechtfertigung und Recht, Yewangoe mengatakan, ini mengindikasikan bahwa kekristenan hanya mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap politik. “Ia kurang lebih mengatakan, ‘Bukan dengan melakukan politik, tetapi dengan menjadi gereja pun, maka gereja telah melakukan politik,’” tulis Yewangoe.

Gereja berpolitik, menurut Yewangoe adalah panggilan untuk ikut serta membangun polis di mana gereja berada. Dan ukuran politik gereja adalah apa yang ideal hari ini.

Sementara menurut Yewangoe, politik itu sendiri bisa diartikan dua hal. Pertama, sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam dan membangun polis (kota) di mana kita hidup di dalamnya dengan siapa pun. Dalam pengertian kedua, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuatan politik (Belanda; politieke machtstrijd). “Setiap partai politik tentu merumuskan tujuannya berpolitik, yaitu sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bersama (dan kesejahteraan anggota-anggotanya). Guna mencapai tujuan ini, maka program politik dirumuskan di mana kekuasaan dipakai untuk mencapainya. Diharapkan partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan itu yang diindikasikan melalui persetujuan di dalam pemilihan umum,” tulis Yewangoe.(tim redaksi)

POLITIK DAN PEREMPUAN

Oleh: Augustien Kapahang Kaunang*

Seorang ibu yang suaminya bertugas sebagai Hukum Tua bercerita tentang penyaluran ‘raskin’ di desanya. Ia ‘terpaksa’ membantu atau lebih tepat mengambil peran aktif dalam penentuan, penyaluran dan menyusun pertanggungjawaban ‘raskin’ tersebut. Hal ini dilakukannya sebab dari segi tingkat pendidikan, ia lebih dari suaminya. Ia lebih berani berhadapan dengan sang pengawas (Banwas) yang datang memeriksa penyaluran raskin yang meminta uang jalan. Ia ‘mempengaruhi’ hukum tua untuk tidak memberi uang jalan seperti yang diminta sang pengawas. Tentang penyaluran itu, ada kesulitan bila mengikuti ketentuan per KK penerima raskin yaitu memperoleh 15 kg. Padahal dalam satu karung beras 20 kg yang tiba di desanya tidak lagi seberat 20 kg. Untuk itu, penyalur harus dapat membuat kebijakan untuk mengatur dengan baik (meski tidak benar), yaitu hanya membagikan per KK 15 liter, konsekuensinya ada sekian liter yang tersisa. Kemudian kebijakan dirubah lagi yaitu memberi satu karung (tercatat 20 kg) per satu KK. Kebijakan ini terpaksa berakibat tidak semua KK mendapatkan jatahnya. Diaturlah secara bergiliran. Pergumulannya ialah : apakah ini kebijakan yang betul? Apakah di sini ada indikasi korupsi? Siapa yang salah di sini?

Nah … penuturan ibu ini menjadi pengantar tulisan ini. Mari kita meneliti lebih jauh tentang kenyataan penyaluran raskin seperti ini. Kitapun dapat menganalisis peran ibu ini dalam ‘menata’ hidup di desanya dan keberaniannya untuk mengatakan tidak terhadap pemintaan sang pengawas raskin.

Politik berasal dari kata bahasa Yunani yaitu polis yang secara harfiah berarti kota yang kemudian berkembang artinya menjadi negara (band. Sirait, 2001:22). Dari asal usul kata ini, dikembangkanlah berbagai pengertian tentang politik.

Politik dapat dipahami sebagai :
1. Seni memerintah untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendirikan negara. Dalam pengertian inilah, orang berbicara mengenai politik praktis.
2. Kemauan bersama untuk membangun dan memelihara polis, tempat di mana kehidupan bersama dapat dibina dan dipupuk,
3. suasana di mana setiap orang yang berhendak baik dapat saling membina dan membangun dirinya masing-masing bagi kesejahteraan polis itu sendiri.

Atas dasar tiga pengertian ini, maka setiap orang sadar atau tidak terlibat dalam politik. Keterlibataan dalam politik ini adalah suatu panggilan (Yewangoe, 2002:162).

Mengapa artikel ini diberi judul politik dan perempuan, bukan politik dan manusia.
Ada dua alasan utama :
1. Perempuan sebagai manusia kawan sekerja Allah di bumi ini ( bersama dengan kaum laki-laki) mayoritas masih diposisikan dan atau memposisikan untuk hal-hal tertentu, seperti a.l. bekerja atau berkarya di dapur, rumah, rumah sakit, pelayan toko/restoran, usaha-usaha sosial karitatif, resepsionis di kantor-kantor, sekretaris bos di perusahaan/usaha perorangan.
2. Perempuan adalah kaum yang mayoritas mengalami kehidupan yang tidak layak, seperti menjadi korban kekerasan, perdagangan (trafiking). Data yang dihimpun oleh LSM Swara Parangpuan berdasarkan berita media masa di Sulawesi Utara ini menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dari tahun 2002 ke tahun 2003 meningkat (tahun 2002 terlapor 376 kasus, Januari-Juni 2003 terlapor 314 kasus). Trafiking dapat melalui cara direkrut, dikumpulkan, dikirim, dipekerjakan dengan tujuan eksploitasi (pemerasan, penghisapan) untuk suatu pekerjaan tertentu maupun untuk suatu pekerjaan dalam kegiatan seks komersial. Trafiking juga bisa terjadi tanpa dikirim keluar daerah/negeri, tetapi terjadi dalam desa/kota dan daerah sendiri bahkan dalam keluarga sendiri. Hal yang terakhir ini diungkapkan oleh beberapa peserta dalam acara seminar dan lokakarya menyongsong ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pemberantasan Trafiking Perempuan dan Anak di Provinsi Sulawesi Utara pada hari Kamis, 20 November 2003.

Dua kenyataan di atas ini, disebabkan oleh masih adanya pandangan hidup yang mendiskriminasi perempuan dalam banyak hal terutama dalam peran-peran publik. Padahal hal-hal ini tidak seharusnya terjadi dalam kehidupan bersama terutama di daerah kita ini. Sebab baik budaya Minahasa maupun agama yang kita anut mengajarkan agar manusia perempuan dan laki-laki hidup harmonis dalam kesetaraan. Hal inilah yang saya selalu sebutkan bahwa secara teologis (theological will) kita punya dasar untuk menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Baik perempuan maupun laki-laki bertanggung jawab bersama dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan. Sekarang, persoalannya ialah apakah kehendak teologis ini mempengaruhi kehendak politis (political will) kita dalam menata kehidupan bersama? Dan pertanyaan yang lebih spesifik lagi ialah apakah paham budaya dan agama kita dibawa dalam ranah politik praktis untuk kehidupan yang layak dari kaum perempuan? Bukankah para anggota dewan perwakilan rakyat di daerah kita adalah orang Minahasa yang beragama?

Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul, sebab realitas kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan dan perdagangan yang ditangani oleh RPK (Ruang Pelayanan Khusus) Polda, Rumah Sakit, LSM menemui kendala a.l. dalam hal pembiayaan. Pada umumnya mereka yang mengalami kekerasan ini adalah anggota masyarakat yang lemah ekonomi. Untuk itulah antara lain beberapa LSM yang peduli dengan perempuan dan anak bersama dengan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Tim Penggerak Provinsi Sulut secara sistematis mendiskusikan penanggulangan dan penanganan masalah ini. Sebagai solusinya ialah antara lain ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pemberantasan Trafiking oleh di DPRD Sulut.

Nah, salah satu cara agar segala peraturan daerah betul-betul tidak diskriminatif terhadap perempuan atau yang memperhatikan harkat dan martabat kaum lemah ialah terwakilinya kaum perempuan secara maksimal baik kualitas maupun kuantitas dalam pengambilan keputusan di DPRD kota/kabupaten/provinsi bahkan pusat.

Minimal 30% keterwakilan perempuan di legislative lebih merupakan salah satu strategi dalam memberdayakan potensi kaum perempuan yang setara dengan kaum laki-laki, yang selama ini diborong/dimonopoli oleh kaum laki-laki.

Sebab pada prinsipnya, siapa saja entah laki-laki atau perempuan hendaknya memperjuangkan kehidupan yang layak untuk semua orang tanpa diskriminasi jender (entah perempuan entah laki-laki). Artinya, baik laki-laki maupun perempuan di legislatif mempunyai fungsi yang sama untuk menata kehidupan bersama tanpa pembedaan yang berakibat pada terjadinya kekerasan satu terhadap yang lain tanpa solusi yang tuntas.

Sekarang, pertanyaan kita ialah apakah ada kaum perempuan yang mampu mengisi target minimal 30% ini yang berkualifikasi seperti yang diharapkan? Pasti ada. Sebab dari segi sumber daya manusia, Sulawesi Utara mempunyai peringkat yang bagus dalam indeks pembangunan dan gender, bahkan tingkat pendidikan khususnya untuk perempuan, lebih tinggi dari rata-rata nasional (UNDP/BPS,2001:78,80,82). Bahkan dalam penelitian saya pada tahun 80-an diperoleh data bahwa pada tahun 1989, perempuan yang berpendidikan Sarjana di Sulawesi Utara tercatat lebih besar jumlahnya dari laki-laki. Apalagi sekarang di awal abad 21 ini. Makin banyak perempuan yang berpendidikan tinggi. Tetapi, sayang sekali, untuk terjun dalam bidang politik praktis, kulifikasi ijazah pendidikan tinggi bukanlah syarat. Biar pendidikan tinggi, kalau tak punya dana untuk kampanye tidak mungkin. Lebih daripada itu, pendidikan tinggi belum juga menjamin moralitas seseorang yaitu dapat berpolitik praktis yang sesungguhnya.

Pasti ada perempuan yang mampu, tetapi apakah mereka mau? Di sini letak soalnya. Memang sudah ada yang mampu dan mau, tetapi baru sedikit (sekitar 9%). Inipun terjadi karena faktor pendukung seperti dana dan fasilitas yang memang sudah dimilikinya. Tetapi bagaimana dengan mereka yang mampu dan mau, tetapi tidak ada dana dan fasilitas pendukung? Hal ini hanya akan terjadi antara lain bila budaya kolusi, nepotisme dan money poltics dihilangkan dalam proses kampanye dan pemilihan legislatif.

Keberpihakan kepada mereka yang lemah, susah, miskin dan menderita karena struktur masyarakat yang paling banyak dialami oleh kaum perempuan dan untuk pembangunan manusia seutuhnya, hendaknya menjadi concern yang utama dan serius dari para pengambil keputusan. Bukan sebaliknya, para pengambil keputusan menggebu-gebu merancang anggaran belanja untuk pendapatannya bagi kantongnya sendiri.

Saya ingat sharing seorang teman mantan anggota legislative di tahun 90-an. Ia menceritakan perjuangannya dalam mengaspirasikan kepentingan masyarakat dan pembangunan yang jujur, adil dan transparan. Ia malah dicemooh temannya dengan berkata, “ibu salah masuk.” Bila cemoohan ini mewakili pandangan sebagian besar anggota dewan, maka kita bisa bayangkan kualitas keputusan menyangkut program dan anggaran serta proses monitoring pelaksanaannya di lapangan. Tidak heran KKN masih jalan terus. Tidak heran orang menyatakan bahwa politik itu kotor. Tidak heran masih banyak orang yang tidak yakin akan peran seorang yang ditahbiskan pendeta menjadi anggota legislatif. Apakah ia dapat tetap memperjuangkan kepentingan masyarakat? Kenyataan ada orang yang berucap, “Ya pandita so ta iko arus”. Tidak heran ada orang berkata pendeta jangan menjadi aktivis partai dan menjadi anggota legislatif, karena itu bukan tempatnya pendeta dan orang-orang yang jujur. Wah … wah … wah

Dasar teologis (Kristen) kita jelas. Bahwa manusia (perempuan dan laki-laki) diciptakan oleh Tuhan untuk mengusahakan dan memelihara bumi ini (Kejadian 2:15). Tuhan memberi mandat kepada manusia untuk menata tempat tinggalnya: kotanya, negaranya; dan dengan demikian manusia sendiri yang menata kehidupannya (kolektif bukan pribadi). Kita ingat sejarah umat Israel seperti yang disaksikan dalam Alkitab. Mereka sendiri harus bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, kesejahteraan bersama. Untuk itu Tuhan Allah memberi pedoman hidup melalui berbagai peraturan.

Atas dasar teologis ini, setiap orang (perempuan dan laki-laki) mau atau tidak terlibat dalam proses penataan hidup bersama sesuai kehendak-Nya. Penataan hidup bersama ini yang oleh Negara dipercayakan kepada antara lain DPR sebagai pembahas dan pengambil keputusan terakhir dari berbagai aturan, program dan anggaran yang dirancang oleh eksekutif.

Perempuan dalam kiprahnya di bidang politik praktis, dapat belajar dari Debora, Wasti dan Ester. Debora sebagai seorang nabi dan juga seorang hakim/pemimpin umat pada masa itu menjalankan tugasnya sesuai kehendak Tuhan. Wasti sebagai isteri raja berani menolak perintah raja yang adalah suaminya sebab kecantikannya bukan untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Ester sebagai seorang isteri raja, dapat mempengaruhi keputusan suaminya sebagai seorang raja yaitu untuk keselamatan orang lain. Saya ingat cerita seorang ibu dalam pendahuluan tulisan ini. Wah … mustinya si ibu ini yang jadi hukum tua. Wasti dan Ester adalah contoh yang baik untuk kaum perempuan yang cantik, pejabat dan isteri seorang pejabat untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan dan untuk keselamatan bangsa yang sedang berada di ujuk tanduk kepunahan.

Dorongan dan sokongan bagi kaum perempuan yang mampu dan mau berkarya di bidang politik praktis harus kita berikan tempat seluas-luasnya dan sebesar-besarnya. Kaum perempuan yang mampu dan mau, beranilah menyatakan kebenaran, keadilan dan kejujuran untuk semua orang tanpa diskriminasi. Perbaiki citra buruk tentang politik, agar polis kita menjadi tempat yang indah dalam memaknai kehidupan yang Tuhan berikan selama hayat dikandung badan dan kegiatan politik menjadi arena pelayanan yang halal bagi siapapun yang bertalenta di bidang ini.



* Pendeta GMIM, Dekan Fakultas Teologi UKIT





















Kamis, 04 September 2008

PELAJARAN BERHARGA DARI BALIK GUNUNG


Oleh : Vera Solung-Loupatty

Yalimo merupakan sebuah kabupaten baru di Provinsi Papua yang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya pada tanggal 21 Juni 2008. Kabupaten Yalimo terdiri dari 5 distrik/kecamatan, yaitu Elelim, Abenahu, Apalapsili, Welarek dan Benawa, dengan luas sekitar 1.260 km2. Jumlah penduduk di kabupaten ini sekitar 36.000 orang. Jarak antar distrik sangatlah jauh. Ada yang bisa ditempuh dengan jalan darat (kendaraan dan jalan kaki) dan ada yang bisa ditempuh dengan pesawat berpenumpang 4-8 orang. Dua distrik (Elelim dan Abenaho) dapat ditempuh melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang sulit. Hanya mobil 4 wheel drive/4 x 4 (double gardan) yang dapat dipakai untuk melalui jalan darat, bahkan lebih aman menggunakan mobil yang bertenaga turbo karena kondisi jalan yang sulit, yakni melalui lereng-lereng terjal, gunung-gunung yang tinggi dan berkabut (sekitar 4000 m di atas permukaan laut) bahkan derasnya aliran sungai. Tiga distrik lainnya hanya bisa dicapai melalui jalan setapak (bukan jalan mobil) yang terjal dan sulit. Perjalanan melalui jalan setapak ini membutuhkan waktu berhari-hari karena melalui gunung-gunung yang tinggi dan terjal dan hutan rimba yang lebat.

Jarak antara Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) dan Elelim (ibukota Kabupaten Yalimo, yang menjadi tujuan perjalanan ini)) kurang lebih 140 km. Sebenarnya jarak ini tidak terlalu jauh, tapi membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 7 jam dengan kendaraan karena kondisi jalan yang sulit.

Di tiap distrik (antara lain seperti: Elelim, Apalapsili, Welarek) sudah ada lapangan terbang rumput yang dibuat oleh badan-badan misi yang bekerja di Papua maupun oleh GKI di Tanah Papua untuk kepentingan pelayanan. Lapangan-lapangan terbang ini hanya bisa didarati oleh pesawat-pesawat kecil yang berpenumpang 4 sampai 8 orang. Ini cukup mempermudah transportasi ke daerah-daerah tersebut. Penerbangan ke daerah-daerah ini yang biasa dilakukan oleh penerbangan Mission Aviation Fellowship tidak secara reguler, tetapi berdasarkan permintaan atau carteran.

Dalam perjalanan menuju Elelim, ada satu pertanyaan di benak saya, ”Benarkah ada ’kehidupan’ di sana?” Pertanyaan tersebut muncul karena untuk mencapai Elelim harus melewati lapisan pegunungan yang dihiasi oleh lebatnya hutan perawan dan sulitnya medan. Namun ternyata ketika tiba di sana, saya justru menjumpai kehidupan yang sangat bersahaja, baik karena alam yang begitu indah maupun keramah-tamahan penduduknya. Pada pagi dan malam hari, deretan pegunungan bagaikan pagar yang mengelilingi rumah sehingga terasa amanlah penghuni di dalamnya. Bagi saya (dan kami yang berkunjung ke sana) terajak untuk merenungi betapa indah dan berharga alam ciptaan Tuhan. Setiap bertemu dengan penduduk setempat, mereka akan memberi salam dan jabatan tangan. Ini membuat saya kagum dengan mereka, sebab sekalipun mereka tinggal di tempat yang dikelilingi barisan pegunungan yang tinggi dan hutan yang lebat, tetapi mereka memiliki rasa hormat yang tinggi kepada sesama manusia.

Kabupaten Yalimo sering disebut juga sebagai wilayah Gereja dalam hal ini Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI di Tanah Papua). Hal ini mengartikan bahwa orang-orang Yalimo yang terdiri dari satu suku, yaitu suku Yali mengenal peradaban dari pelayanan Gereja. Sehubungan dengan hal ini, peran para pendeta, penginjil (lokal dan luar negeri) sangatlah penting. Oleh karena peran para hamba Tuhan inilah, meskipun mereka tinggal di balik gunung, tetapi hidup mereka sangat bersahaja. Injil Yesus Kristus begitu kuat mempengaruhi kehidupan mereka. Sehubungan dengan hal ini, saya sangat tertarik dengan peran penginjil lokal. Mereka menginjili orang-orang yang belum mengenal Injil dan berusaha untuk mendampingi mereka yang telah menerima Injil sekalipun mereka harus berjalan kaki berhari-hari, membiarkan diri hanyut dibawa arus untuk mencapai lokasi-lokasi tertentu, tanpa peduli dana penunjang yang minim bahkan sering tersendat-sendat dan binatang buas yang berkeliaran di hutan. Pemberian diri mereka telah membuat begitu banyak orang dapat mengenal Injil dan peradaban, padahal jujur saja, mereka sangat sulit tersentuh oleh peradaban karena sulitnya untuk mencapai mereka. Oleh sebab itulah, saya hanya menjumpai sedikit orang yang masih menggunakan koteka dan tidak menjumpai kaum perempuan yang tidak berpakaian, tetapi dalam acara-acara tertentu, mereka akan tampil dengan berpenampilan khas suku Yali (laki-laki menggunakan koteka, perempuan bertelanjang dada dan mengenakan kam ataupun semacam rok yang terbuat dari tali hutan/tali rafia untuk menutupi aurat). Tidak kalah menarik juga peran misionaris yang telah menghasilkan Alkitab PL dan PB dalam bahasa Yali. Hal ini menggugah hati saya sebagai seorang Pendeta dengan beberapa pertanyaan, apakah saya benar-benar telah memberi diri untuk memanusiakan sesama manusia dalam konteks pelayanan saya? Apakah uang harus selalu dijadikan tolok ukur dalam melayani ??? Saya juga tertarik tentang kampak, kam dan noken. Kampak digunakan digunakan oleh laki-laki untuk bekerja/memotong kayu. Kam digunakan untuk menutupi aurat perempuan. Noken adalah tas yang aslinya terbuat dari tali kayu. Saya melihat pada umumnya, kaum perempuan yang memakai noken. Caranya : tali noken diletakkan di kepala dengan posisi noken di belakang bukan di depan. Ubi-ubian dan benda-benda lainnya bahkan seorang bayi dapat diletakkan di dalamnya.
Saya terkesima dengan penjelasan seorang Kepala Suku khususnya tentang kampak dan noken. Kampak merupakan simbol bahwa seorang laki-laki harus pergi bekerja, misalnya ia harus menanam di kebun. Seorang perempuan (dalam hal ini isteri), selain bekerja di rumah, ia juga harus menunjang suaminya dengan turut memelihara apa yang ditanam. Ketika panen tiba, seorang perempuan akan turut membawa hasil-hasil kebun dengan memasukkannya ke dalam noken lalu dibawa pulang ke rumah. Mereka yang tinggal dikelilingi oleh lapisan gunung ini, ternyata menyimpan falsafah hidup yang tidak terbentuk setelah melewati berbagai seminar, simposium ataupun lokakarya. Kehidupan yang penuh misteri di balik gunung ini tidak hanya menyimpan kekayaan alam yang sangat potensial untuk memajukan masyarakat, tetapi juga menyimpan kekayaan intelektual khususnya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Penulis, dosen Fakultas Teologi UKIT

Rabu, 13 Agustus 2008

Dialog Injil dan Kebudayaan

Injil yang Terbungkus
Umat gereja sering dikacaukan dengan tampilan Injil oleh gereja yang merasa superior, meski memang disebut penuh kasih, bersahabat. Tapi, dalam pemaknaannya ketika berjumpa dengan dunia, Injil dibuat seolah-olah ektstrim dan tanpa ampun terhadap agama dan kebudayaan lain. Injil sering dipakai oleh sekelompok manusia hanya untuk menghakimi pelacuran, pencurian, pembunuhan dan berbagai bentuk kejahatan manusia lainnya. Injil lebih dipahami sebagai aturan hukum saja, bukan nilai atau spirit yang membebaskan manusia dari belenggu penjajahan pemikiran serta ketidakadilan struktur politik. Sehingga yang terjadi, Injil sering vis a vis dengan kenyataan konteks atau budaya di sebuah tempat dan waktu.

Injil lahir di sebuah kebudayaan, Timur Tengah misalnya. Tapi tradisi kekristenan berkembang di Eropa. Kekristenan yang bersemangatkan Injil itu akhirnya terbungkus dengan paradigma dan frame berpikir peradaban kebudayaan Eropa, yang kenyataanya, memang kemudian membuat Injil seolah-olah produk dunia Eropa/Barat. Persoalannya kemudian adalah ketika Injil masuk dalam waktu yang sama dan dengan perangkat yang sama dengan kolonialisme dan impreliasme ke Dunia Timur. Pada banyak hal, akhirnya semua definisi yang Injili, bukan lagi dari Injil itu, sebagaimana yang disaksikan Alkitab, melainkan telah dari apa kata paradigma dan peradaban yang membungkusnya, yaitu Barat. Tradisi kekristenan itulah yang kemudian diperkenalkan di dunia Timur.

Inilah antara lain gambaran persoalan Injil dan Kebudayaan. Bahwa ketika Injil telah diklaim semacam milik satu peradaban saja, maka seolah-olah yang diluar peradaban itu tidak Injili. Bahkan persoalan menjadi lebih rumit, ketika gereja akhirnya membungkus Injil itu, yang mana gereja sebenarnya juga telah bersimbiosis mutualis dengan paradigma dan peradaban Barat itu.
Akhirnya yang kita lihat pasca era kolonialisme dan impreaslisme Barat di paruh abad 20, Injil telah berwajah kebarat-baratan yang membungus Injil itu sejak berabad-abad sebelumnya. Ketika gereja berbicara tidak ada keselamatan di luar gereja, sebelum abad pertengahan, bahkan pasca abad pertengahan, dan kemudian kepentingan ekonomi politik bangsa-bangsa Eropa yang berambisi besar menguasai Dunia Timur yang kaya dengan sumber daya alamnya menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan, maka Injil kemudian hadir dengan wajah dunia Barat, yang cenderung patriakhal, feodalistik dan hemgemonistik. Wajah Yesus akhirnya tampak seperti ‘bule’.

Padahal, di saat yang sama, bahkan sebelum kekristenan lahir, Dunia Timur telah memiliki peradabannya sendiri: ada budayanya, ada agamanya dan ada sistem politik serta ekonominya sendiri. Agama-agama bahkan telah lama berkembang di sini, misalnya Hindu, Budha, Konghucu dan sejumlah agama local masyarakat Timur. Beberapa pemikiran keagamaan itu misalnya, bahkan kadang juga didefinisikan sebagai pemikiran filsafati. Pokoknya, dunia timur adalah dunia yang telah beradab dan berbudaya.

Injil dalam Ketegangan
Injil akhirnya bersitegang dengan kebudayaan local masyarakat Timur. Padahal sebenarnya, antara Injil dan kebudayaan tak akan bersitegang kalau manusia tidak dengan sengaja membuat mereka bersitegang. Ketegangan ini bukan karena Injil yang tampilannya memang tidak bersahabat atau ingin bermusuhan dengan apa dan siapa saja, melainkan karena paradigma atau konteks di Eropa, di mana Injil diformulasi dan kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk Dunia Timur, telah membungkus Injil dalam frame berpikirnya terhadap dunia lain. Injil kemudian dipakai seperti alat legitimasi untuk menghakimi peradaban dan kebudayaan lain.
Ketegangan ini mestinya dimaknai secara kreatif. Tapi yang kita lihat dan rasakan hingga sekarang bahwa Injil yang dikhotbahkan gereja masih saja tampil dengan semangat superiornya. KKR yang marak dilaksanakan oleh gereja-gereja evangelical di tanah lapang misalnya memperlihatkan dengan jelas kepada kita, betapa Injil ditampilkan dengan sengaja sebagai nilai dan spirit yang absolut. Tiada kebenaran lain di luar gereja, kata mereka. Padahal, nilai Injil adalah keadilan, kebenaran dan kedamaian.
Namun, ketegangan antara Injil dan kebudayaan yang terjadi dan menjadi gejala hingga sekarang sebenarnya memang adalah bagian dari proses sejarah. Bahwa ketika dalam proses itu yang menjadi dominant dalam dimensi politik dan ekonomi adalah peradaban Barat, melalui alat-alat teknologinya yang canggih, maka yang terjadi kemudian bahwa gereja yang mengabarkan Injil juga seolah-olah “takluk” di bawah pengaruh paradigma penguasa peradaban itu. Gereja dalam proses pengabaran Injilnya sampai di abad yang baru lewat memang dalam taklukan itu. Gereja waktu itu belum bisa dengan bebas mengekspresikan nilai-nilai Injil yang sebenarnya bersahabat, secara penuh keakraban dengan budaya di mana Injil itu akan dikabarkan.


Itulah sehingga ketegangan antara Injil dan kebudayaan membawa konsekuensi pada terdistorsinya beberapa nilai kearifan local atau nilai-nilai budaya di mana gereja Barat mengabarkan Injil itu. Perlahan tapi pasti, akhirnya gereja yang berhasil didirikan di dunia timur mengarahkan kiblatnya, baik soal arsitektur bangunan gereja maupun paradigma berteologinya pada peradaban Barat. Gereja akhirnya menjadi kebarat-baratan.

Menggagas Perjumpaan Yang Akrab Antara Injil dan Kebudayaan
Meski begitu kita akhirnya harus jujur juga mengatakan bahwa karena proses itulah sehingga terjadi perubahan ke arah yang positif beberapa lokus dunia Timur. Misalnya di Minahasa karena perjumpaan itu sehingga sehingga di perkenalkan system pendidikan yang lebih modern, dengan berdirinya beberapa sekolah di Tanah Minahasa. Agama Kristen di Minahasa sudah dari abad 16 ketika bangsa barat Portugis dan Spanyol membawa agama Katolik ke Minahasa. Tapi agama Kristen Protestan masuk Minahasa melalui misi Zending Belanda baru mulai tahun 1831 mengirimkan pendeta-pendeta bangsa Jerman seperti J.F.Riedel yang melayani di Tondano, J.G.Schwarz yang melayani di Langouwan dan Tonsea, N.Ph.Wilken di Tomohon. Kuranga Tomohon mulai ada sekolah tahun 1852 dan kemudian thn.1866 di dirikan sekolah penulong injil (guru agama merangkap guru sekolah). Dan tahun 1868 setelah 37 tahun proses protestanisasi maka misi Katolik kemudian mulai bergiat lagi, di tahun itu juga terbitlah koran " Tjahaya Siang" yang di cetak di Tanah Wangko. Ini juga menunjukkan bahwa orang Minahasa mulai tahun 1868 sudah memasuki masyarakat moderen sudah menulis di koran dan sudah membaca koran berarti sebahagian besar orang Minahasa tidak lagi buta huruf. Karena memang Injil yang masuk ke Tanah Minahasa tampilannya cukup baik, yaitu dengan membangun sekolah-sekolah dan pelayanan kesehatan.
Sesungguhnya kepedulian untuk memesrakan antara Injil dan kebudayaan, dalam Gereja Protestan sebenarnya sudah cukup lama. Beberapa pertemuan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD), di awal-awal abad 20 sudah membicarakan dengan serius tentang Dunia Timur yang mestinya harus diakrabi oleh gereja. Gereja Katolik justru melakukan perubahan radikal pandangannya terhadap budaya, tradisi dan agama lain nanti pada tahun 1965 melalui Konsili Vatikan II. Baik Gereja Protestan maupun Gereja Katolik meski memang berbeda pendekatan dan penekanannya pada masa-masa itu, tapi sebenaranya tampak dengan jelas mulai bertumbuhnya kesadaran untuk memaknai kehadiran gereja secara dialogis dan kontekstual.
Belakangan di gereja Protestan muncul apa yang disebut dengan Teologi Kontekstual. Kemunculan paradigma berteologi ini menghadirkan suatu cahaya baru bagi proses penginjilan atau proses mengabarkan Injil Yesus Kristus. Teologi Kontekstual akhirnya memang dipilih sebagai cara alternative yang lebih teologis dalam memaknai budaya di mana gereja itu berpijak. Tapi memang dalam perkembangannya, paradigma ini tidak menjadi sesuatu yang masal bagi gereja-gereja. Gereja beraliran evanglikal tetap dengan arah dan model berteologinya, yang antara lain katanya adalah penginjilan yang disama artikan dengan penobatan kebudayaan kafir. Sementara gereja yang beraliran ekumenikal terus bersemangat mengembangkan model dan paradigma berteologinya yang lebih terbuka, namun kritis terhadap kebudayaan, tradisi atau juga agama lain.
Teologi Kontekstual adalah usaha menghadirkan gereja dengan wajah dan paradigma berteologi sesuai dengan alam berpikir dan kebutuhan konteks budaya di mana gereja itu berpijak. Namun pada akhirnya teologi kontekstual bukan hanya soal bagaimana mendialogkan antara gereja dan nilai-nilai kebudayaan tradisional, tapi juga diusahakan untuk dapat berpihak pada penderitaan rakyat yang bersoal dengan kekuasaan Negara yang dominant yang antara lain sebagai penyebab ketidakadilan struktur, dan juga berusaha tampil sebagai pembela hak-hak rakyat dalam berekonomi.
Capaian dari teologi kontekstual adalah berdamaiannya antara gereja yang mengabarkan Injil dengan kebudayaan. Dalam prosesnya terjadi saling memberi isi meski memang sikap kritis tetap harus dijaga. Dan, secara teoligis, Injil memang adalah untuk mendamaikan demi terciptanya kehidupan manusia dan alam yang adil, dan sejahtera.(tim redaksi)

Gereja dalam Realitas yang Miskin

Oleh: Denni Pinontoan

Indonesia yang kita banggakan ini ternyata mengkoleksi 76,4 juta masyarakat miskin dan hampir miskin. Angka ini barangkali termasuk juga istri Dg Basri, Dg Basse (36), anak laki- laki bernama Fahril (4), dan bayi yang masih berada dalam kandungan Dg Basse di Makasar yang meninggal dunia akibat kelaparan. Angka ini tentu adalah para balita di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT yang sedang menderita gizi buruk. Angka 76.4 juta ini mudah-mudahan sudah termasuk para penerima raskin, baik yang benar-benar miskin, maupun yang pura-pura menjadi miskin.

Kemiskinan Hati
Inilah realitas kita, Indonesia. Tapi, kemiskinan sebenarnya bukan hanya soal bahwa kita tidak cukup sandang, pangan dan papan, tapi juga hati kita yang miskin semangat dan miskin moral. Dan jangan lupa, para pejabat yang suka menerima suap, korup dan dengan gampang membelokkan hukum untuk kekayaan diri sendiri adalah juga orang miskin, sekaligus penyabab kemiskinan di Indonesia.

Jangan-jangan realitas Indonesia yang miskin, sebenarnya lebih didominasi oleh hati yang miskin. Bahkan, kemiskinan hati ini, bisa dikatakan sebagai penyebab makin meluasnya kemiskinan sandang, pangan dan papan. Fenomenanya adalah gizi buruk, kelaparan, pencurian, dan berbagai tindakan kriminalitas lainnya.

Gereja, yang anggotanya adalah orang-orang Kristen yang percaya kepada Injil Yesus Kristus ada dalam realitas itu. Baik sebagai korban, maupun sebagai pelaku kemiskinan. Gereja, sebagai lembaga sakral, yang dasar pijakannya adalah Injil Yesus Kristus ada dan berada dalam realitas itu. Kehadiran gereja di konteks itu, mestinya tidak kemudian memperparah kemiskinan itu, misalnya dengan tuntutannya bagi jemaat yang sedang bersoal dengan kemiskinan untuk memberi persepuluhan rutin setiap bulan di luar persembahan di kotak pundi yang bermacam-macam mereknya di gedung gereja.

Seremonial gereja, setiap hari minggu, atau kalau dalam konteks kita di Sulut, bahkan hampir setiap hari (pagi, sore, malam dan subuh), mestinya tidak mengasingkan jemaat yang adalah juga rakyat dengan tanggung jawabnya mengatasi kemiskinan. Bentuk tanggung jawab itu tergantung dari titik mana kita berdiri. Kalau kita jemaat yang adalah pejabat pemerintah, tentu bentuk tanggung jawab itu terutama adalah komitmen kita untuk tidak mengkorupsi raskin, dana BOS dan tidak menerima suap untuk pengurusan surat-surat. Sementara kalau kita elit gereja, misalnya sebagai pengkhotbah, bagaimana kalau bicara-bicara kita di atas mimbar, tak lagi harus membodohi umat dengan segala iming-iming masa depan di sorga yang konon itu, sehingga seolah-olah melegalkan kemiskinan umatnya dalam kehidupan kini. Pejabat gereja lainnya, diharapkan juga tidak hanya pusing memikirkan bagaimana menara gereja harus tinggi dan terdapat di hampir semua sudut gedung, yang semua ongkosnya kemudian dibebankan kepada umatnya.

Umat atau rakyat yang miskin, akan menjadi lebih miskin kalau diperlakukan sebagai objek. Misalnya, para pejabat pemerintah datang mendekati mereka beri sembako dengan harapan citra dan wibawa bisa terangkat. Begitu juga dengan elit gereja, yang kemudian berkoar dengan khotbah, bahwa kemiskinan umatnya adalah karena kemalasan, dengan tidak melihat kenyataan bahwa sebagian besar tanah garapan mereka telah dikuasai oleh para pemilik modal. Itu barangkali antara lain penyebab kemiskinan. Belum lagi elit gereja yang tidak pernah pusing uang persembahan jutaan rupiah dari si A yang adalah pejabat pemerintahan daerah itu apakah didapat dari sebuah proses yang benar, atau karena korupsi. Kan, ketika menerima itu, gereja seolah-olah juga sedang mengiyakan praktek korupsi dan suap, yang langsung atau tidak langsung sebagai penyebab kemiskinan bagi jemaatnya.

Peran Gereja
Peran gereja dalam mengatasi kemiskinan, bagi jemaat atau rakyat di mana konteks ia berpijak, antara lain adalah tindakan aksi refleksi dengan mengarahkan umat pada kerja-kerja yang menghidupkan dengan memberdayakan apa yang ada. Misalnya, gereja ikut berperan dalam mengusahakan cap tikus yang sekarang ini hanya bisa dikosumsi langsung dan banyak membuat orang mabuk, diolah lagi untuk kemudian menjadi alcohol teknis untuk medis. Selain itu, tak salah kalau gereja juga ikut memikirkan dan melakukan tindakan strategis dalam usaha bersama-sama dengan institusi Negara lainnya dalam mengatasi persoalan korupsi dan suap. Soal ini, tentu gereja sebagai lembaga pertama-tama harus mengatasi dulu virus perilaku korupsi yang barangkali telah menjangkiti tubuhnya.

Selain itu, gereja yang memang hadir dengan suara kenabiannya, sangat penting juga untuk secara kritis mengkoreksi model penyelenggaran Negara atau pemerintahan daerah yang tidak berpihak kepada rakyat. Contoh praktis, bahwa ketika digelar Pilkada, gereja mestinya berperan mengisi hati dan otak rakyat untuk memilih sesuai hati nurani. Tapi ini bisa terjadi kalau gereja menjaga jarak dengan para calon yang faktanya suka bermain mata dengan gereja. Kongkritnya, gereja mestinya ikut juga secara aktif berpolitik, yaitu dengan cara mengadvokasi dan memberdayakan rakyat, siapapun dia, untuk menjadi warga Negara yang tahu berdemokrasi, kritis dan sudah tentu punya posisi tawar dengan kekuasaan Negara yang kadang sentralistik dan otoriter. Mengapa tidak kalau memang eksekutif atau legislative terbukti mengingkari hak-hak rakyat dengan meracang dan membuat kebijakan yang tidak pro rakyat dan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok, gereja ikut memfasilitasi dan bersama-sama dengan rakyat menggugatnya. Inilah makna sebenarnya bergereja dalam realitas yang miskin.

Kumawus di Kakaskasen Tiga, Kota Tomohon

Oleh : Augustien Kapahang-Kaunang

1. Kegiatan Kumawus

Hampir setiap hari minggu pagi kira-kira jam 07.00-08.30, kaum perempuan/ibu sibuk mengunjungi salah satu rumah bahkan beberapa rumah untuk beribadah dan mengumpulkan uang yang diberi nama ‘dana sosial’ untuk diberikan kepada keluarga yang dikunjungi. Keluarga ini baru saja ditinggalkan oleh orang yang mereka kasihi. Mereka sedang mengalami dukacita atas kepergian salah seorang anggota keluarganya (meninggal). Kunjungan ibu-ibu di pagi ini, dikoordiner oleh satu atau dua bahkan tiga kelompok dana sosial duka. Ada kelompok yang bernama Sendangan, ada yang bernama Talikuran Timu dan ada yang bernama Uner dan ada pula yang bernama Pondol. Kelompok-kelompok ini terdiri dari ratusan anggota yang mempunyai susunan organisasinya dan program bantuan sosial lengkap dengan segala hak dan kewajiban anggota. Susunan organisasinya hanya sederhana yaitu Ketua, Penulis/Pencatat/Sekretaris dan Penyimpan Uang/Bendahara dan beberapa Anggota. Programnyapun sesuai dengan maksud yaitu mengumpul dana setiap kali ada anggota yang mengalami kedukaan. Pada awalnya yang dikumpulkan adalah kue cucur, tetapi kemudian diganti dengan uang. Mengumpul uang lebih murah sesuai dengan ketentuan setiap kelompok, yakni berkisar antara 7 ribu sampai 8000 rupiah, sedangkan bila dalam bentuk kue cucur sebanyak 10 - 15 buah yang harganya sekarang a Rp 800, berarti seharga Rp 8.000 – Rp 12.000,- Masih sekali-kali ada yang meminta agar yang dikumpulkan dalam bentuk kue. Kelompok-kelompok ini mempunayi inventaris berupa peralatan masak memasak, piring dan gelas yang dapat dipakai oleh para anggota saat ada kumawus. Acaranya ialah ibadah, penyampaian dari pimpinan kelompok kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah sambil mengumpulkan uang. Anggota dalam kelompok-kelompok ini adalah keluarga masyarakat, semacam LSM nya desa/kampung , tidak ada hubungan struktural dan fungsional dengan pemerintah desa/kelurahan dan dengan agama/denominasi gereja. Meskipun demikian, ibadah minggu pagi ini dipimpin oleh pendeta atau guru agama atau vikaris atau orientator GMIM (bila keluarga yang berduka anggota GMIM). Persembahan yang terkumpul masuk kas kelompok.

Pada jam 09.00, keluarga besar yang berduka, dengan memakai pakaian hitam bersama-sama mengikuti ibadah di gedung gereja. Di dalam ibadah ini, keluarga membawakan puji-pujian dan memberikan persembahan khusus. Pemimpin ibadah mendoakan secara khusus akan kehadiran keluarga besar ini yang masih dalam suasana duka.

Kegiatan kumawus dilanjutkan pada siang hari tepatnya selesai ibadah siang di gedung gereja yakni mulai sekitar jam 12.00. Kumawus siang ini dimulai dengan ibadah (sesuai dengan golongan/denominasi gereja yang berduka). Sesudah ibadah dilanjutkan dengan sambutan dan pengumuman pemerintah dan diakhiri dengan makan dan minum bersama.
Makanan disajikan di meja panjang dengan alas makan dari daun laikit. Semua makanan diletakkan langsung di daun kecuali makanan berair (sup atau santan). Makanan yang disajikan dalam cara makan seperti ini adalah makanan tradisional seperti tinoransak, ayam bulu, ikan bulu, pangi, saut, acar, kua santan dan kue cucur. Bila isteri suami yang datang maka diusahakan agar keduanya mengambil tempat duduk berhadapan. Kalau biasanya makan pakai sendok dan garpu, di sini langsung pakai ‘leper adam’ maksudnya langsung pakai tangan. Selesai makan, semua makanan yang tersisa dibungkus (‘saputen’) untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Mengapa makan dengan cara ini ? Berdasarkan percakapan dengan seorang tokoh masyarakat/tokoh adat/tua-tua kampung, katanya : “ makan di daun laikit ada filosofinya yaitu : - tanaman daun laikit bertumbuh melebar laksana keluarga besar dan yang bertempat tinggal jauh dapat bertemu. – laikit adalah tempat untuk membungkus makanan, artinya kekeluargaan dipererat. – laikit dapat menjadi payung, artinya tempat bernaung : keluarga besar menjadi penopang keluarga yang berduka. Dahulu, makanan untuk kumawus disiapkan oleh rukun keluarga besar dengan membawa belanga nomor 8 tempat nasi. Keluarga yang berduka menyiapkan ‘kas’ tempat menyalin makanan.
Cara makan seperti ini tidak sepenuhnya lagi dilakukan sekarang ini, sebab daun laikit bahkan daun pisang sebagai penggantinya juga susah didapat. Bayangkan saja, hampir setiap hari minggu lebih dari satu keluarga melaksanakan acara kumawus ini. Sekarang ini, makanan tidak beda lagi dengan makanan pesta : ada tukang masak yang disewa atau di catering dengan berbagai jenis makanan yang berbeda dengan makanan yang diletakkan di daun pisang (makanan “tradisional”). Acara makan minum ini berlangsung sepanjang siang sampai malam hari (open house). Hal ini terjadi karena para tamu tidak datang sekaligus dalam waktu yang sama. Bila ada dua atau lebih acara kumawus, maka misalnya keluarga saya berkunjung mulai dari keluarga A baru ke keluarga B selanjutnya ke keluarga C, demikian sebaliknya keluarga yang lain mulai berkunjung pada keluarga C atau B dan A. Bahkan ada yang memang merancang kedatangannya ke keluarga A, B dan C nanti pada malam hari karena pada siang hari mereka punya kesibukan lain.

Kunjungan pada keluarga yang berduka ini dilakukan oleh siapa saja: saudara, kenalan, kerabat, sekampung, golongan agama apa saja. Tidak ada undangan tertulis ataupun lisan.
Biasanya orang yang datang akan memberi ‘sampul’ yang berisi uang untuk keluarga: paling kurang Rp 10.000, kebanyakan orang memberi Rp 20.000,- .

Kegiatan kumawus belum berakhir, sebab pada malam hari tepatnya sesudah ibadah minggu malam yakni sekitar jam 19.30 dilaksanakan ibadah di rumah duka. Ibadah ini diorganiser oleh kaum remaja dan pemuda gereja (GMIM). Ibadah biasanya dipimpin oleh pendeta atau vikaris atau ‘orientator’. Peserta ibadah terbuka untuk umum : tua muda tidak pandang asal gereja/denominasi/agama. Biasanya yang hadir dalam ibadah ini selain remaja pemuda gereja adalah juga anggota jemaat kolom (bila GMIM), para tetangga/masyarakat jaga/lingkungan atau umat/jemaat (misalnya Katolik, GPDI, Advent). Sesudah ibadah, keluarga memberi pelayanan kue dan teh/kopi. Sementara ada pelayanan konsumsi, dilantunkan lagu pujian baik bersama maupun solo,duet yang biasanya diiringi dengan musik organ/keyboard.

2. Apa itu Kumawus ?
Dari percakapan dengan dua orang tokoh/tua-tua kampung/tokoh adat saya mendapatkan jawabannya. Kata kumawus berasal dari kata dasar “kawus” yang berarti selesai. “I kawus ola” artinya diselesaikan saja, maksudnya rasa duka diselelesaikan atau diakhiri. ‘Kumawus” berarti suatu kegiatan untuk menyelesaikan atau mengakhiri rasa duka dan menyelesaikan segala hal yang berkaitan dengan orang yang meninggal. Maksudnya ialah agar keluarga tidak ada ‘hutang’ adat bagi yang telah pergi. Juga dengan kumawus, keluarga yang ditinggalkan merasa lega, terhibur dan dikuatkan melalui pertemuan, persekutuan terlebih lagi dengan ibadah-ibadah. Praktek kumawus khususnya acara makan minum di siang hari sudah lama berlangsung. Nama kegiatan ini pada awalnya ialah ‘muntep remdem’ atau ‘ maso itang’ yang arti hurufiahnya ‘masuk hitam’. Maksudnya ialah keluarga dengan memakai pakaian hitam masuk/beribadah di gereja pada jam 09.00. Selesai beribadah, dilanjutkan dengan acara makan minum di rumah pada kira-kira jam 12.00. Penamaan kumawus baru mulai tahun 1990-an, dan telah berkembang dengan tahapan acara sejak pagi sampai malam.
Dari rangkaian kegiatan kumawus ini, selalu ada kesempatan bagi keluarga untuk menyampaikan selamat datang atau kesaksian singkat. Baik dalam ucapan sambutan keluarga, dalam ibadah : doa dan khotbah, dan dalam sambutan pemerintah, saya menangkap satu hal penting yang merupakan intisari dari pelaksanaan kumawus ini ialah : ucapan syukur. Ucapan syukur karena Tuhan telah memampukan keluarga untuk menerima kenyataan ditinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya. Jadi, bersyukur bukan atas kematian seseorang tetapi atas kemampuan untuk menerima kenyataan kematian.

3. Catatan Reflektif
Kegiatan budaya sekitar kematian berdampak pada kehidupan yang melibatkan seluruh kampung, semua orang yang terkait langsung dengan keluarga maupun sobat kenalan, rekan sekerja atau relasi kerja. Suatu peristiwa kematian yang memunculkan arti kehidupan dari orang-orang yang masih hidup. Mungkin benar ungkapan bahwa orang hidup untuk mati, dan kematian membawa kehidupan yang berkelanjutan dan kehidupan baru bukan hanya bagi kaum keluarga. Kematian mencipta rasa persaudaraan, kekerabatan, persekutuan senasib sepenanggungan tanpa pandang bulu : strata sosial dan denominasi/agama, semua terlibat aktif secara sukarela.
Berikut ini beberapa pokok pikiran yang masih akan dikaji secara teologis kontekstual sehubungan dengan hubungan dialektis Injil dan Kebudayaan-Kebudayaan :
- Kematian menguatkan iman percaya
- Kematian mempererat tali kasih antar anggota keluarga dekat dan jauh
- Kematian sebagai kesempatan menggalang solidaritas dibidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan
- Kematian sebagai sarana berekumene
- Kematian adalah persoalan kemanusiaan dari semua komponen masyararakat mulai dari anak-anak, remaja, pemuda dan orang dewasa bahkan para lanjut usia.
Atau :
- Kehidupan tidak lepas dari kematian
- Kehidupan adalah bila tali kasih keluarga tetap erat
- Kehidupan adalah kesempatan memberi dan menerima, membagi dan mengumpul
- Kehidupan adalah terciptanya kerukunan antar umat beragama
- Kehidupan adalah tanggungjawab semua komponen masyarakat

4. Permasalahan Teologis, antara lain :
- Apakah artinya mengumpul uang atau bahan makanan untuk acara kedukaan ? Lalu bagaimana dengan diakonia untuk pendidikan dan pembinaan/pemberdayaan masyarakat ? Saya coba menghitung pengeluaran setiap keluarga untuk acara kumawus ini. Bila kewajiban sebagai anggota satu kelompok paling kurang Rp 7.000 ditambah dengan derma sekitar Rp.1.000 maka minimal harus ada Rp 8.000,-. Padahal rata-rata satu keluarga mengikuti dua kelompok sosial duka. Kita bisa bayangkan kalau setiap hari Minggu ada dua atau lebih keluarga. Tidak hanya dana sosial, tetapi juga ‘sampul’ dalam kumawus siang minimal Rp10.000,- ditambah dengan derma sekitar Rp.1.000,- maka jumlah minimal setiap minggu menjadi Rp 19.000,- Serapan dana untuk sosial duka cukup besar setiap minggu. Ini belum terhitung dengan dana-dana sosial duka pada saat kematian yang diorganiser a.l. oleh rukun-rukun keluarga, rukun warga jaga/lingkungan, komisi Wanita/Kaum Ibu GMIM.
- Bagaimana menata ekonomi keluarga untuk kesehatan dan pendidikan keluarga ? Lokasi penelitian ini termasuk kelurahan di kota Tomohon yang tercatat terbanyak keluarga pra sejahtera. Sungguh ironis !
- Apakah hari Minggu adalah hari istirahat ? Kesibukan masyarakat terlihat di waktu pagi hari di mana ibu-ibu pergi membawa bantuan. Demikian juga kesibukan di siang hari saat menghadiri acara makan minum di rumah duka. Paling kurang 30 menit berada di rumah duka yang satu, kemudian pindah lagi di rumah duka berikutnya. Orang saling bertemu di jalan dengan arah berbeda. Hari minggu adalah hari paling sibuk. Apalagi bila di hari minggu itu ada syukur Baptisan atau “Balas Gereja”.
- Adakah hubungan dialektis antara kebudayaan ini dengan Injil/Iman Kristen ? Memang dilaksanakan ibadah-ibadah yang dilayani oleh para pendeta atau guru agama atau vikaris atau orientator berdasarkan jadual dari Badan Pekerja Majelis Jemaat. Apakah kenyataan ini cukup menjadi alasan untuk menjawab ya bahwa ada hubungan dialektis?
- Apakah ada kaitan antara kehidupan, kematian dan keselamatan ? Apa motivasi dasar di balik semua ungkapan budaya ini ? Sangat jarang ada kelompok sosial yang programnya adalah membantu biaya pendidikan atau kesehatan. Mengapa nanti pada saat ada kematian dari salah seorang anggota keluarga, maka perselisihan bahkan pertengkaran dalam keluarga diperdamaikan ?

5. Penutup
Demikian dulu beberapa catatan pendahuluan tentang kumawus yang masih akan dilanjutkan dengan menambah data obyektif tentangnya dan kajian teologis kontekstual.



Penulis, Dekan Fakultas Teologi UKIT

“KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL”

(Retorika Paulus Di Atena Sebagai Upaya Kontekstualisasi Dalam Pluralisme Agama)

Oleh: I Gede Supradnyana

Mereka menyembah-Ku sebagai Yang Satu dan yang banyak
Karena mereka melihat, seluruhnya ada dalam Aku
(Bhagawad Gita)

A. Pengantar
Ketika membaca Alkitab, maka pertanyaan mendesak yang hendak dijawab oleh pembacanya adalah a) apa itu teks? dan, b) apa maknanya? Dari sinilah penafsiran terhadap Alkitab dimulai.
Pada dasarnya tujuan penafsiran Alkitab dirumuskan dengan sangat baik oleh kalangan Katolik melalui Komisi Kitab Suci Kepausan. Dikatakan, ““… Gereja tidak hanya memandang Alkitab sebagai suatu kumpulan dokumen tentang asal usulnya. Gereja menerima Alkitab sebagai Sabda Allah yang ditujukan baik kepada dirinya sendiri maupun kepada seluruh dunia sekarang ini. Keyakinan ini berasal dari iman, lalu mengarah kepada karya untuk … menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab …” Tujuannya jelas: menginkulturasikan pesan-pesan Alkitab, tentunya dalam konteks pembacanya.
Tulisan ini bermaksud untuk mendekati teks Alkitab, khususnya Kisah Para Rasul, melalui langkah-langkah tafsir agar supaya didapat suatu pesan dalam rangka berteologi gereja dalam konteks tertentu. Berteologi gereja dalam konteks itulah yang kalangan Katolik gemar menyebutnya dengan istilah inkulturasi dan kalangan Protestan lebih menyukai istilah kontekstualisasi.
Teks yang dipilih untuk dijadikan bahan tafsir adalah Kisah Para Rasul 17:16-34. Dalam teks ini ditemukan bagaimana Paulus mengabarkan Injil di Atena, pusat kebudayaan Yunani. Melalui metode retorika, ia berhasil menarik perhatian dan minat orang Atena terhadap Injil. Tentu sebelum berpidato di hadapan cendekiawan Atena, terlebih dahulu ia telah mempelajari konteks Atena. Teks ini dapat mengantar pembaca pada masa kini tentang metode kontekstualisasi yang terdapat dalam Alkitab, yang tentunya merangsang untuk upaya kontekstualisasi dalam konteks kini dan di sini.
B. Pendahuluan
Kisah Para Rasul adalah jilid dua dari buku karya Lukas. Jilid pertama adalah Injil Lukas. Yang menarik dari dua karya ini adalah adanya kalimat pembuka di awal tulisan yang menyebutkan bahwa tulisan ini ditujukan atau lebih tepatnya didedikasikan kepada seorang yang bernama Teofilus (Luk. 1:1; Kis. 1:1). Menurut umumnya anggapan, Teofilus adalah seorang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, khususnya dalam bidang pemerintahan Romawi. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata yang sama, yaitu “yang mulia” kepada Teofilus dan dikenakan pula kepada gubernur Feliks ( Luk. 24:2) dan Festus (Luk. 26:25).
Yang menarik dari karya Lukas ini adalah kenyataan bahwa hanya Lukas saja yang mencantumkan semacam kata pengantar dan sekaligus penerima karyanya ini. Oleh karena pembacanya adalah seorang yang mempunyai kedudukan tinggi, tentu saja dia menyiapkan tulisannya dengan sangat baik. Ia bahkan mengatakan bahwa dalam menyusun kisahnya tentang Yesus dan tentang tindakan para rasul dalam menyebarkan Injil, terlebih dahulu ia menyelidiki peristiwa itu dengan saksama melalui berbagai sumber pada waktu itu (Luk. 1:3). Tujuannya adalah: “supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar” (Luk. 1:4). Dari sini dapat dipahami bahwa mungkin saja Teofilus adalah seorang yang baru percaya, yang perlu mendapat penjelasan yang logis tentang iman Kristen. Sedangkan Lukas adalah seorang cendekiawan yang sedang meyakinkan seorang “murid” bernama Teofilus.
Dalam rangka proses pembelajaran untuk meyakinkan itu, maka Lukas menyiapkan karya yang tentunya harus menggunakan bahasa yang baik dan bermutu, yang disesuaikan dengan konteks “keningratan” Teofilus. Bagi Lukas, karyanya itu merupakan sarana komunikasi persuasif dalam rangka pencapaian tujuan itu. Apabila fungsi Injil Lukas dan Kisah Para Rasul dilihat dari kacamata ini, maka terbukalah peluang untuk melihat karya Lukas ini dari sudut pandang yang lain.
Sudut pandang yang dimaksud adalah mendekati teks Injil Lukas maupun Kisah Para Rasul dari sisi retorika. Hal ini bukanlah upaya yang mengada-ada, sebab dalam masa Perjanjian Baru retorika memainkan peran yang tinggi dalam komunikasi lisan maupun tulisan di antara para cendekiawan pada masa itu.
C. Retorika Dalam Dunia Yunani Romawi Klasik
Umumnya retorika (r`htorikh,) dipahami sebagai “seni mempergunakan bahasa dalam merangkai wacana untuk tujuan persuasif agar supaya pendengar atau pembaca menangkap maksud dari pembicara atau penulis.”[1] Dalam retorika, ada yang disebut dengan retorika primer dan ada pula yang disebut retorika sekunder. Retorika primer dipahami sebagai seni berbicara di hadapan publik sebagai bagian dalam hidup sosial kemasyarakatan untuk tujuan persuasif, sedangkan retorika sekunder dipahami sebagai penggunaan teknik-teknik retorika primer dalam tulisan-tulisan, seperti tulisan-tulisan sejarah, filsafat, drama, puisi dan sebagainya.[2]
Retorika pada mulanya berkembang dan kemudian mendapat tempat khusus dalam dunia pendidikan Yunani semasa demokrasi menjadi bagian yang penting dalam sistem pemerintahan mereka. Ketika Helenisasi digiatkan oleh pemerintah Romawi yang berimbas pada pengadopsian dan penerapan gaya pendidikan Helenis pada sistem pendidikan Romawi, maka retorika pun mendapat perhatian penting. Hal ini dibuktikan dengan adanya aturan bahwa ilmu retorika menjadi syarat dasar bagi pendidikan tinggi di Romawi. Karenanya banyak kalangan, seperti guru, pengacara, pejabat pemerintah, pejabat sipil dan juga para sastrawan, selain belajar ilmu filsafat, mereka juga membekali diri dengan ilmu retorika dalam pendidikan formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa siapapun yang berpendidikan di wilayah kekasisaran Romawi pasti mengenal dengan baik ilmu retorika baik praktis maupun teoritis.[3] Karena pengaruh yang demikian luas, maka bukanlah hal yang mengejutkan apabila sebagian besar sesuatu yang hendak disampaikan kepada publik baik lisan maupun tulisan sangat dipengaruhi oleh kaidah-kaidah retorika.
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa Lukas adalah seorang cendekiawan, yang tentunya terpelajar, yang juga menulis kisah kebenaran iman Kristen kepada seorang yang terhormat, pasti mengenal dengan baik seluk beluk retorika. Studi tentang retorika Yunani Romawi klasik telah menempatkan karya-karya Lukas, khususnya pidato-pidato dalam Kisah Para Rasul, dalam bingkai retorika.[4]
D. Kerangka Tafsir Retorika
Strategi pendekatan retorika untuk teks-teks Yunani Romawi klasik disebut aptum.[5] Dalam retorika primer, istilah ini menjelaskan hubungan antara pembicara (ῥήτωρ, rhētōr, orator), apa yang dikatakan/pidato retorikanya, dan pendengar. Dalam retorika sekunder, dapat dikatakan bahwa aptum berhubungan dengan hubungan antara penulis, teks, dan pembaca. Hubungan-hubungan itu dapat dibagi lagi menjadi: hubungan antara pembicara/penulis dengan isi pembicaraan/teks, hubungan antara pembicara/penulis dengan pendengar/pembaca, dan hubungan antara isi pembicaraan/teks dengan pendengar/pembaca.[6]
Dalam aptum terjadi perjumpaan antara penulis/pembicara dengan pendengar/pembaca melalui yang dibicarakan/teks yang ditulis. Hubungan-hubungan ini nampak dalam apa yang disebut dengan konteks intertekstual, yaitu bagaimana yang dibicarakan/teks itu diciptakan dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mendekati dan “membujuk” serta menyentuh perasaan pendengar/pembaca. Di sini diperlukan kemampuan analisis dan evaluasi dari akibat yang ditimbulkan dari suatu komunikasi retorika.[7]
Di samping aptum, dalam retorika Yunani Romawi klasik ada juga tiga hal yang sangat menentukan tingkat kepersuasifan suatu retorika, yaitu apa yang disebut oleh Aristoteles dengan ethos, logos, dan pathos. Ethos berhubungan dengan karakter moral dan aspek lain dalam diri si pembicara/penulis yang menentukan kredibilitasnya sebagai seorang rhētōr. Logos merujuk pada yang dibicarakan/teks yang ditulis sebagai retorika: cara atau teknik pengungkapan dan penyajian argumen, seperti teknik kalimat induksi atau deduksi. Sedangkan pathos berkaitan dengan reaksi atau tanggapan emosional dari pendengar atau pembaca. Dalam menganalisis pembicaraan/teks logos perlu dibedakan antara argumentasi (verba) yang terkandung dalam ide dan presentasinya (res) sebagai teknik berbicara (logôn techne). Oleh karena itu pendekatan retorika juga berhubungan dengan kemampuan menjelajah berbagai variasi penyampaian argumen maupun presentasi retorika dalam kaitan dengan aptum.
Masih dalam kaitan dengan teori retorika Yunani Romawi klasik, teknik berbicara (logôn techne) memiliki pola dasar sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ahli retorika klasik, seperti Aristoteles, Cicero dan Quintilian, yaitu exordium, naratio, confirmatio, dan conclusio. Namun demikian, pola dasar ini sering dikembangkan menjadi enam bagian yang saling berhubungan, yaitu:
a. Exordium (pendahuluan): bagian ini bermaksud untuk menyatakan situasi atau kasus, yakni sesuatu yang menjadi penyebab terjadinya ketegangan atau perdebatan. Tanpa kasus ini, bisa jadi tak akan ada persoalan. Lalu oleh karena tidak ada masalah, maka pidato retorik tidak akan ada.
b. Narratio (narasi): maksud bagian ini adalah untuk memaparkan fakta. Di sini dikemukakan kembali situasi yang melatarbelakangi hal yang dibicarakan itu. Sekalipun berfungsi demikian, isi bagian ini juga bersifat persuasif.
c. Propositio: bagian ini memperjelas apa yang tertuang dalam narasi. Dengan kata lain, merupakan ringkasan narratio, sekaligus juga persiapan untuk masuk ke bagian berikutnya, yakni probatio.
d. Probatio (bukti): inilah bagian hakiki pidato retorik. Di sini pembicara memaparkan argumentasi. Untuk maksud itu, ia menyediakan bukti-bukti dan menguraikan contoh-contoh menurut strategi-strategi yang biasa dan umum berlaku.
e. Confutatio: maksud bagian ini adalah menunjukkan dengan bukti apa yang salah dalam rangkaan argumentasi yang dikemukakan oleh pihak lawan. Karena itu, isi bagian ini umumnya bersifat negatif.
f. Conclusio: bagian ini merupakan bagian paling akhir dari pembicara untuk mengingatkan pendengar tentang kasus yang sedang dibicarakan. Karena itu, penggunaan kata-kata dalam bagian ini diusahakan sedemikian rupa agar dapat menimbulkan sentuhan emosional sekuat mungkin bagi orang yang mendengarnya. Bagian ini bisa dibagi lagi menjadi: peringatan, pernyataan mengenai akibat dari keputusan, dan nasihat.
Dalam suatu retorika Aristoteles membagi tiga tipe retorik yang disesuaikan dengan suasana penyampaiannya (genera causarum), orientasi waktunya, tujuannya dan sisi-sisi yang saling bertentangan yang menjadi perhatiannya. Tipe-tipe itu adalah:
a. Tipe yudisial (judicial/forensic), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana pengadilan. Orientasi waktu dari tipe ini adalah masa lampau, yang memiliki sisi “tuduhan” dan “pembelaan.” Hal yang dibahas adalah masalah keadilan dan ketidakadilan.
b. Tipe deliberatif (deliberatife/legislative), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana rapat. Orientasi waktunya adalah masa depan, yang memiliki sisi “bujukan” dan “larangan.” Hal yang dibahas adalah masalah baik/layak atau tidak baik/layak; atau menguntungkan/berguna atau tidak menguntungkan/berguna.
c. Tipe epideiktis (epideictic/ceremonial/demonstrative), yaitu retorika yang disampaikan dalam suasana perayaan atau seremoni. Orientasi waktunya adalah masa kini, yang memiliki sisi “pujian” dan “celaan.” Hal yang dibahas adalah sifat yang baik atau buruk.
Umumnya para ahli menyetujui bahwa terdapat lima langkah tafsir dalam pendekatan retorika, yaitu:[8]
a. Menetapkan unit retorika, baik unit retorika yang dapat berdiri sendiri maupun keseluruhan kitab yang dipandang sebagai suatu retorika.
b. Menentukan situasi retorika, seperti orang-orang yang berperan (pembicara/orator dan pendengar), peristiwa-peristiwa dan hal-hal lain yang dapat membuat terjadinya suatu pidato retorika..
c. Menentukan jenis retorika (yudisial, deliberatif, atau epidektis).
d. Menganalisa retorika (aptum) melalui ethos, logos dan pathos; kemudian logos (lo,goj) dianalisis dari daya tarik penyampaian argumen (penyusunan suatu pidato retorika menurut komponen-komponen retorika, seperti exordium (pendahuluan), naratio (pemaparan fakta), divisio (penegasan naratio), probatio (pemaparan argumen), confutatio (membuktikan kesalahan lawan), dan peroratio (penutup).
e. Mengevaluasi keefektifan retorika melalui tanggapan pendengar terhadap argumen orator.

E. Tafsir Retorika Kisah Para Rasul 17:16-34
1. Unit Retorika
Dalam pendekatan retorik, penting untuk membatasi bagian atau unit retorika. Salah satu pidato retorika dalam kitab Kisah Para Rasul adalah pidato rasul Paulus di Areopagus (17:22b-31). Akan tetapi pidato ini tidak dapat berdiri sendiri jika tidak memperhatikan konteks teksnya secara keseluruhan. Konteks teks yang lebih luas dari bagian ini tentu saja kitab Kisah Para Rasul secara keseluruhan dari pasal 1 sampai pasal 28. Kemudian dibatasi lagi dengan menekankan perhatian pada bagian kedua dari kitab Kisah Para Rasul yang mengarahkan ceritanya pada pemberitaan Injil oleh Paulus dan teman-temannya kepada orang-orang bukan Yahudi.
Mencermati pidato retorik dengan lebih cermat, maka didapati bahwa pidato Paulus di Areopagus itu terjadi di Atena. Informasi itu dapat ditemukan dalam 17:16a, “…sementara Paulus menantikan mereka di Atena…” yang merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya (17:15, “…orang-orang yang mengiringi Paulus menemaninya sampai di Atena, lalu kembali dengan pesan kepada Silas dan Timotius, supaya mereka selekas mungkin datang kepadanya…”). Dengan demikian, batas awal untuk menentukan unit retorika pidato ini adalah 17:16.
Kemudian dalam 18:1 dikatakan, “kemudian Paulus meninggalkan Atena, lalu pergi ke Korintus...” Keterangan ini membuktikan bahwa Paulus telah berpindah tempat untuk memberitakan Injil dari Atena ke Korintus. Dengan demikian bagian sebelumnya (17:34) merupakan akhir dari kisah tentang pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena. Jadi, batas akhir untuk menentukan unit retorika adalah 17:34.
2. Situasi Retorika
Yang dimaksud dengan situasi retorika adalah mengidentifikasi orang-orang yang turut terlibat dan berpengaruh sehingga pidato itu terjadi, juga peristiwa-peristiwa yang terjadi yang mendahului pidato retorika itu. Kisah Para Rasul 17:16-21 dapat menunjukan situasi yang melatar belakangi terjadinya pidato Paulus di Areopagus. Ketika itu, Paulus sedang menantikan kedatangan Silas dan Timotius yang masih berada di Berea (17:14-15). Sebelumnya ketiga orang ini mengabarkan Injil di Berea, tetapi terjadi masalah dengan orang Yahudi dari Tesalonika yang tidak suka dengan pemberitaan Injil oleh Paulus. Akibatnya, Paulus pergi ke Atena, sedangkan Silas dan Timotius masih di Berea.
Sementara menantikan Silas dan Timotius di Atena, Paulus merasa sedih karena ia melihat bahwa kota itu penuh dengan patung-patung berhala (kateidoolon, 17:16) yang disembah oleh penduduk Atena. Setelah mendapat pemandangan seperti itu, Paulus bertukar pikiran bukan hanya dengan orang Yahudi (tentunya di sinagoga), tapi juga dengan siapa saja di pasar (agora), tempat yang bukan hanya untuk berdagang, tapi juga untuk kehidupan umum dan tempat mengulas persoalan filsafat dan agama (17:17).
Pemberitaan Injil oleh Paulus mendapat (salah) tanggapan dari beberapa filsuf-filsuf Epikuros[9] dan Stoa[10], sebab mereka menganggap bahwa Paulus memberitakan sesuatu ajaran yang asing di telinga mereka. Ajaran yang asing itu adalah pemberitaan Paulus tentang Yesus dan kebangkitan-Nya (anastasis). Ada yang menganggapnya sebagai pembual atau peleter yang memberitakan ajaran kebangkitan yang tidak masuk akal – karena para pendengarnya, terlebih kaum Epikuros, tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian. Yang lain salah sangka, karena menganggap Paulus menyebarkan adanya dewa-dewa baru yang asing bagi mereka. Yang pertama adalah dewa Yesus dan yang kedua adalah dewi Anastasis (17:18). Oleh karena rasa penasaran tentang ajaran baru itu, maka mereka mengundang Paulus untuk menjelaskan lebih dalam lagi apa yang sedang diberitakannya itu di Areopagus, yaitu suatu tempat berkumpul para anggota dewan sipil yang membahas masalah filsafat dan agama. Mereka membawanya bukan untuk mengadilinya, tetapi karena ingin tahu tentang ajaran Paulus (17:19-21).
3. Eksposisi Retorika
Dengan memakai bentuk retorika deliberatif, Paulus mendekati masyarakat beragama di Atena. Ia memulai pidatonya (exordium) dengan mengambil hati para pendengar: “Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa.” (17:22). Ada catatan penerjemahan dalam bagian ini, yaitu istilah deisidamonterous harusnya diterjemahkan dengan “sangat beragama” tanpa tambahan “kepada dewa-dewa.” Bentuk plural kata itu menunjukkan pluralitasnya masyarakat yang beragama, bukan pluralitasnya sesembahan (Yang Ilahi). Ini menunjukkan bahwa Paulus sangat menghargai ibadah orang Atena. Walaupun memang sebelumnya Paulus bersedih karena masyarakat beragama di Atena merealisasikan cara beragama itu melalui patung-patung (17:16).
Paulus kemudian menceritakan (narratio) bahwa ia melihat objek-objek ibadah di tempat-tempat pemujaan/ibadah mereka (sebasmata; 17:23a). Di sana juga ia menemukan sebuah mezbah dengan tulisan: “Kepada Allah yang tidak dikenal.” Bentuk tunggal menunjukkan adanya monoteisme di Atena. Selanjutnya Paulus mengemukakan (propositio) bahwa Allah yang tidak mereka kenal, itulah yang diberitakan olehnya agar supaya mereka mengenal Allah itu (17:23b).
Bagian selanjutnya, Paulus menguji dan membuktikan (probatio) apa yang menjadi propositio tadi. Ia menunjukkan: pertama, Allah, yang adalah Sang Pencipta alam semesta, juga Tuhan langit dan bumi tidak tinggal dalam kuil/tempat ibadah yang dibuat oleh tangan manusia (17:24), Dia yang adalah Pemberi dan Pemelihara hidup tentu tidak perlu dihidupkan dan dilayani dengan korban persembahan atau sesajen dari manusia (17:25). Kedua, bahwa Allah membuat seluruh umat manusia dari satu orang saja, yang kemudian menentukan ruang dan waktu bagi mereka, dengan tujuan agar kiranya manusia mencari dan menemukan Dia (17:26-27b). Ketiga, Paulus memakai dukungan dari dua filsuf Yunani yang memiliki pandangan tentang Yang Ilahi, yaitu Epimenides (VI sM), yang memahami bahwa Allah sangat dekat dengan manusia, karena ia menyadari bahwa manusia hidup, bergerak dan ada di dalam Allah (17:27b-28); filsuf berikutnya, yaitu Aratos – yang menulis buku Phainomena dan merupakan sesepuh kaum Stoa – yang meyakini bahwa manusia berasal dari keturunan Allah (17:29). Karena berasal dari keturunan Allah, maka manusia tidak boleh membuat patung-patung Allah (17:30).
Pidato Paulus kemudian ditutup dengan peroratio. Dengan melihat bahwa patung-patung, Paulus mengatakan bahwa mereka sementara berada dalam zaman ketidaktahuan – di sini sengaja digunakan kata ketidaktahuan ketimbang kebodohan mengingat kesopanan bahasa retorika – tentang Allah. Akan tetapi hal itu tidak lagi menjadi persoalan, karena Allah sedang menyerukan sekaligus memerintahkan agar mereka bertobat dengan mengubah hidupnya selama ini (17:30). Alasan penyampaian berita pertobatan itu adalah karena hari pertanggungjawaban/pengadilan telah ditentukan oleh Allah Yang Esa, yaitu pengadilan yang oleh seorang yang telah ditentukan dengan membangkitkan-Nya (17:31).
Semua yang disampaikan oleh Paulus hingga ayat 30 pada dasarnya memiliki kesetaraan dengan pandangan pemikir Yunani dan juga pandangan kaum Yahudi dan pandangan Kristen. Arti hal ini adalah Paulus hendak memberikan suatu dasar bersama agar supaya semua orang dapat memahami apa yang sedang dibicarakan, walaupun berbeda agama.
Walaupun demikian, dalam ayat 31 terjadi pergeseran argumen Paulus yang mengetengahkan pandangan Kristen tentang pengadilan oleh seorang yang ditentukan oleh Allah – di sini Paulus tidak menyebut nama Yesus. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kebangkitan (anastasis), yang tadinya menjadi alasan untuk bekumpul di Areopagus, tidak lagi menjadi persoalan utama, tetapi bergeser pada pengadilan sebagai pertanggungjawaban sikap manusia di dunia.
4. Tanggapan Pendengar Terhadap Retorika Paulus
Tanggapan terhadap pidato Paulus itu beragam: ada yang mengejek karena dianggap tidak bahwa pemberitaan Paulus dianggap tidak sesuai dengan pandangan mereka yang tidak mengakui adanya kebangkitan sesudah kematian (17:32a), ada yang berminat dengan menghendaki pembicaraan lebih lanjut di lain kesempatan (17:32b), walaupun hal ini tidak disinggung lebih lanjut. Ada juga yang menerima pemberitaan itu, seperti Dionisius (seorang filsuf dan cendekiawan anggota majelis Areopagus), seorang perempuan bernama Damaris, dan beberapa orang yang lain.
F. Makna Retorika Paulus Sebagai Kerangka Kontekstualisasi Injil Dalam Konteks Pluralisme Agama
Perjumpaan berita Injil dengan dunia filsafat, budaya dan agama Yunani di Atena ini menunjukkan bahwa Injil, yang dibawa oleh Paulus, dapat menarik minat setiap orang asal menggunakan pendekatan yang sesuai dengan konteksnya. Lukas, melalui Paulus, dengan jenius mengupayakan kontekstualisasi Injil dalam konteks agama, budaya dan filsafat Yunani. Dengan mengambil konteks Atena, maka alam pikiran Yunani Romawi dapat terwakilkan.
Sehubungan dengan kerangka berteologi gereja dalam konteks pluralisme agama, belajar dari retorika Paulus di Atena, maka beberapa hal yang dapat dicantumkan adalah:
1. Pemberitaan Injil hendaknya dimulai dengan dialog iman yang menggunakan dasar bersama. Apabila orang Kristen memberitakan Injil dengan langsung menyebut istlah-istilah seperti Trinitas, Pengakuan Iman Rasuli dan sebagainya, tentu akan menimbulkan ketegangan dan mungkin konflik. Hal-hal yang diakui secara bersama, seperti Allah yang Esa, Yang menciptakan dan memelihara alam semesta, Yang memberi hidup kepada manusia, Yang menyediakan tempat dan musim bagi manusia, kiranya lebih sesuai dengan iman semua agama. Dialog yang dimulai dengan pengakuan bersama ini lebih menjanjikan dalam mencari titik temu agama-agama di manapun.[11]
2. Berbagai tanggapan atas pemberitaan Injil oleh Paulus di Atena menunjukkan bahwa percaya kepada Yesus bukanlah satu-satunya hasil dari dialog iman. Dalam konteks pluralitas agama yang mengarah pada hidup bersama (ekumene), maka perhatian satu dengan yang lain dan minat untuk mempelajari agama lain diperlukan, agar kiranya terjadi transformasi pemahaman yang mengarah pada perubahan sikap hidup dan lebih menekankan pada kesejahteraan bersama. Bukankah salah satu aspek Injil adalah kesejahteraan secara bersama? Jika ini terjadi, maka pemeluk agama yang satu tidak perlu berpindah agama.
3. Pandangan bahwa Allah tidak diam dalam kuil-kuil buatan manusia, kiranya menyadarkan setiap agama bahwa Allah tidak dapat dikurung dalam ajaran-ajaran masing-masing yang mengklaim kebenarannya. Allah yang sama, yang disembah oleh semua agama, merupakan Dia yang memberikan penyataan (wahyu) kepada semua agama, dan dengan demikian Ia ada dalam setiap agama. Wahyu Allah yang sama itu, kemudian menjadi berbeda-beda berdasarkan tafsiran masing-masing agama. Perbedaan itu tidak dapat dipertentangkan. Karena itu, setiap agama hendaknya tidak tertutup, tetapi terbuka satu dengan yang lain dalam membagi kebenaran wahyu Allah. Dengan demikian, maka akan tercipta sikap saling mengakui kebenaran-kebenaran yang ada pada masing-masing agama

[1] Bnd. Komisi Kitab Suci Kepausan, Penafsiran Alkitab Dalam Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 53; bnd. Wenas Kalangit, ‘Surat Galatia: Sebuah Retorika’ dalam Forum Biblika No. 8 – 1999 hlm. 29; juga Ph. E. Satterthwaite, ‘Acts Against Background of Clasiccal Rhetoric’ dalam B.W. Winter & A.D. Clarke (eds.), The Book of Acts in Its First Century Setting volume I: The Book of Acts in Its Ancient Literary Setting (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Pub. Co. & Carlisle: The Paternoster Press, 1993) hlm. 338; juga Aristoteles, ‘Rhetoric’ dalam http://classics.mit.edu/Aristotle/rhetoric.html
[2] Satterthwaite, Op. Cit.
[3] Ibid., hlm. 341
[4] B.W. Winter & A.D. Clarke, Op. Cit..
[5]Istilah ini dibuat oleh H. Lausberg sebagaimana yang dikutip dalam Ibid.; bnd. http://humanities.byu.edu/rhetoric/silva.htm; aptum juga dipahami sebagai dipertemukannya kondisi komunikasi antara teks dan pembaca.
[6] D.L. Stamps, ‘Rhetorical Criticism of The New Testament: Ancient and Modern Evaluations of Argumentation’ in S.E. Porter & D. Tombs, Approaches to New Testament Study (Sheffield: Sheffield Ac. Press, 1995)
[7] Ibid., hlm. 154-155
[8] Stamps, Op. Cit., hlm. 138; dalam menentukan langkah-langkah ini, Stamps mengutip G.A. Kennedy, New Testament Interpretation through Rhetorical Criticism (North Carolina: University of North Carolina Press, 1984) dan D.F. Watson, Invention, Arrangement, and Style: Rhetorical Criticism of Jude and 2 Peter (Atlanta: Scholar Press, 1988)
[9] Didirikan oleh Epukuros (341 sM). Mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, maka diperlukan sikap yang tenang, membuang segala ketakutan dan yakin bahwa para ilah akan campur tangan dalam hidup ini. Mereka tidak mempercayai adanya kebangkitan sesudah kematian. J.D. Douglas, dkk. (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I (Jakarta: YKBK/OMF, 1995) hlm. 282-283
[10] Didirikan oleh Zeno (335-263 sM). Mengajarkan bahwa dalam mencapai kebahagiaan hidup, maka seseorang harus mencari hal-hal yang cocok dengan tempatnya dalam tatanan alam semesta, dengan melakukan kebajikan yang tulus ikhlas. Douglas, dkk. (ed.), Op.Cit. jilid II hlm.420
[11] Martin Harun, ‘Melintasi Batas-Batas Budaya dan Agama’ dalam Forum Biblika No. 15 tahun 1999 hlm. 38