Kamis, 04 September 2008

PELAJARAN BERHARGA DARI BALIK GUNUNG


Oleh : Vera Solung-Loupatty

Yalimo merupakan sebuah kabupaten baru di Provinsi Papua yang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya pada tanggal 21 Juni 2008. Kabupaten Yalimo terdiri dari 5 distrik/kecamatan, yaitu Elelim, Abenahu, Apalapsili, Welarek dan Benawa, dengan luas sekitar 1.260 km2. Jumlah penduduk di kabupaten ini sekitar 36.000 orang. Jarak antar distrik sangatlah jauh. Ada yang bisa ditempuh dengan jalan darat (kendaraan dan jalan kaki) dan ada yang bisa ditempuh dengan pesawat berpenumpang 4-8 orang. Dua distrik (Elelim dan Abenaho) dapat ditempuh melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang sulit. Hanya mobil 4 wheel drive/4 x 4 (double gardan) yang dapat dipakai untuk melalui jalan darat, bahkan lebih aman menggunakan mobil yang bertenaga turbo karena kondisi jalan yang sulit, yakni melalui lereng-lereng terjal, gunung-gunung yang tinggi dan berkabut (sekitar 4000 m di atas permukaan laut) bahkan derasnya aliran sungai. Tiga distrik lainnya hanya bisa dicapai melalui jalan setapak (bukan jalan mobil) yang terjal dan sulit. Perjalanan melalui jalan setapak ini membutuhkan waktu berhari-hari karena melalui gunung-gunung yang tinggi dan terjal dan hutan rimba yang lebat.

Jarak antara Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) dan Elelim (ibukota Kabupaten Yalimo, yang menjadi tujuan perjalanan ini)) kurang lebih 140 km. Sebenarnya jarak ini tidak terlalu jauh, tapi membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 7 jam dengan kendaraan karena kondisi jalan yang sulit.

Di tiap distrik (antara lain seperti: Elelim, Apalapsili, Welarek) sudah ada lapangan terbang rumput yang dibuat oleh badan-badan misi yang bekerja di Papua maupun oleh GKI di Tanah Papua untuk kepentingan pelayanan. Lapangan-lapangan terbang ini hanya bisa didarati oleh pesawat-pesawat kecil yang berpenumpang 4 sampai 8 orang. Ini cukup mempermudah transportasi ke daerah-daerah tersebut. Penerbangan ke daerah-daerah ini yang biasa dilakukan oleh penerbangan Mission Aviation Fellowship tidak secara reguler, tetapi berdasarkan permintaan atau carteran.

Dalam perjalanan menuju Elelim, ada satu pertanyaan di benak saya, ”Benarkah ada ’kehidupan’ di sana?” Pertanyaan tersebut muncul karena untuk mencapai Elelim harus melewati lapisan pegunungan yang dihiasi oleh lebatnya hutan perawan dan sulitnya medan. Namun ternyata ketika tiba di sana, saya justru menjumpai kehidupan yang sangat bersahaja, baik karena alam yang begitu indah maupun keramah-tamahan penduduknya. Pada pagi dan malam hari, deretan pegunungan bagaikan pagar yang mengelilingi rumah sehingga terasa amanlah penghuni di dalamnya. Bagi saya (dan kami yang berkunjung ke sana) terajak untuk merenungi betapa indah dan berharga alam ciptaan Tuhan. Setiap bertemu dengan penduduk setempat, mereka akan memberi salam dan jabatan tangan. Ini membuat saya kagum dengan mereka, sebab sekalipun mereka tinggal di tempat yang dikelilingi barisan pegunungan yang tinggi dan hutan yang lebat, tetapi mereka memiliki rasa hormat yang tinggi kepada sesama manusia.

Kabupaten Yalimo sering disebut juga sebagai wilayah Gereja dalam hal ini Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI di Tanah Papua). Hal ini mengartikan bahwa orang-orang Yalimo yang terdiri dari satu suku, yaitu suku Yali mengenal peradaban dari pelayanan Gereja. Sehubungan dengan hal ini, peran para pendeta, penginjil (lokal dan luar negeri) sangatlah penting. Oleh karena peran para hamba Tuhan inilah, meskipun mereka tinggal di balik gunung, tetapi hidup mereka sangat bersahaja. Injil Yesus Kristus begitu kuat mempengaruhi kehidupan mereka. Sehubungan dengan hal ini, saya sangat tertarik dengan peran penginjil lokal. Mereka menginjili orang-orang yang belum mengenal Injil dan berusaha untuk mendampingi mereka yang telah menerima Injil sekalipun mereka harus berjalan kaki berhari-hari, membiarkan diri hanyut dibawa arus untuk mencapai lokasi-lokasi tertentu, tanpa peduli dana penunjang yang minim bahkan sering tersendat-sendat dan binatang buas yang berkeliaran di hutan. Pemberian diri mereka telah membuat begitu banyak orang dapat mengenal Injil dan peradaban, padahal jujur saja, mereka sangat sulit tersentuh oleh peradaban karena sulitnya untuk mencapai mereka. Oleh sebab itulah, saya hanya menjumpai sedikit orang yang masih menggunakan koteka dan tidak menjumpai kaum perempuan yang tidak berpakaian, tetapi dalam acara-acara tertentu, mereka akan tampil dengan berpenampilan khas suku Yali (laki-laki menggunakan koteka, perempuan bertelanjang dada dan mengenakan kam ataupun semacam rok yang terbuat dari tali hutan/tali rafia untuk menutupi aurat). Tidak kalah menarik juga peran misionaris yang telah menghasilkan Alkitab PL dan PB dalam bahasa Yali. Hal ini menggugah hati saya sebagai seorang Pendeta dengan beberapa pertanyaan, apakah saya benar-benar telah memberi diri untuk memanusiakan sesama manusia dalam konteks pelayanan saya? Apakah uang harus selalu dijadikan tolok ukur dalam melayani ??? Saya juga tertarik tentang kampak, kam dan noken. Kampak digunakan digunakan oleh laki-laki untuk bekerja/memotong kayu. Kam digunakan untuk menutupi aurat perempuan. Noken adalah tas yang aslinya terbuat dari tali kayu. Saya melihat pada umumnya, kaum perempuan yang memakai noken. Caranya : tali noken diletakkan di kepala dengan posisi noken di belakang bukan di depan. Ubi-ubian dan benda-benda lainnya bahkan seorang bayi dapat diletakkan di dalamnya.
Saya terkesima dengan penjelasan seorang Kepala Suku khususnya tentang kampak dan noken. Kampak merupakan simbol bahwa seorang laki-laki harus pergi bekerja, misalnya ia harus menanam di kebun. Seorang perempuan (dalam hal ini isteri), selain bekerja di rumah, ia juga harus menunjang suaminya dengan turut memelihara apa yang ditanam. Ketika panen tiba, seorang perempuan akan turut membawa hasil-hasil kebun dengan memasukkannya ke dalam noken lalu dibawa pulang ke rumah. Mereka yang tinggal dikelilingi oleh lapisan gunung ini, ternyata menyimpan falsafah hidup yang tidak terbentuk setelah melewati berbagai seminar, simposium ataupun lokakarya. Kehidupan yang penuh misteri di balik gunung ini tidak hanya menyimpan kekayaan alam yang sangat potensial untuk memajukan masyarakat, tetapi juga menyimpan kekayaan intelektual khususnya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Penulis, dosen Fakultas Teologi UKIT

Tidak ada komentar: