Rabu, 13 Agustus 2008

Gereja dalam Realitas yang Miskin

Oleh: Denni Pinontoan

Indonesia yang kita banggakan ini ternyata mengkoleksi 76,4 juta masyarakat miskin dan hampir miskin. Angka ini barangkali termasuk juga istri Dg Basri, Dg Basse (36), anak laki- laki bernama Fahril (4), dan bayi yang masih berada dalam kandungan Dg Basse di Makasar yang meninggal dunia akibat kelaparan. Angka ini tentu adalah para balita di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur (NTT yang sedang menderita gizi buruk. Angka 76.4 juta ini mudah-mudahan sudah termasuk para penerima raskin, baik yang benar-benar miskin, maupun yang pura-pura menjadi miskin.

Kemiskinan Hati
Inilah realitas kita, Indonesia. Tapi, kemiskinan sebenarnya bukan hanya soal bahwa kita tidak cukup sandang, pangan dan papan, tapi juga hati kita yang miskin semangat dan miskin moral. Dan jangan lupa, para pejabat yang suka menerima suap, korup dan dengan gampang membelokkan hukum untuk kekayaan diri sendiri adalah juga orang miskin, sekaligus penyabab kemiskinan di Indonesia.

Jangan-jangan realitas Indonesia yang miskin, sebenarnya lebih didominasi oleh hati yang miskin. Bahkan, kemiskinan hati ini, bisa dikatakan sebagai penyebab makin meluasnya kemiskinan sandang, pangan dan papan. Fenomenanya adalah gizi buruk, kelaparan, pencurian, dan berbagai tindakan kriminalitas lainnya.

Gereja, yang anggotanya adalah orang-orang Kristen yang percaya kepada Injil Yesus Kristus ada dalam realitas itu. Baik sebagai korban, maupun sebagai pelaku kemiskinan. Gereja, sebagai lembaga sakral, yang dasar pijakannya adalah Injil Yesus Kristus ada dan berada dalam realitas itu. Kehadiran gereja di konteks itu, mestinya tidak kemudian memperparah kemiskinan itu, misalnya dengan tuntutannya bagi jemaat yang sedang bersoal dengan kemiskinan untuk memberi persepuluhan rutin setiap bulan di luar persembahan di kotak pundi yang bermacam-macam mereknya di gedung gereja.

Seremonial gereja, setiap hari minggu, atau kalau dalam konteks kita di Sulut, bahkan hampir setiap hari (pagi, sore, malam dan subuh), mestinya tidak mengasingkan jemaat yang adalah juga rakyat dengan tanggung jawabnya mengatasi kemiskinan. Bentuk tanggung jawab itu tergantung dari titik mana kita berdiri. Kalau kita jemaat yang adalah pejabat pemerintah, tentu bentuk tanggung jawab itu terutama adalah komitmen kita untuk tidak mengkorupsi raskin, dana BOS dan tidak menerima suap untuk pengurusan surat-surat. Sementara kalau kita elit gereja, misalnya sebagai pengkhotbah, bagaimana kalau bicara-bicara kita di atas mimbar, tak lagi harus membodohi umat dengan segala iming-iming masa depan di sorga yang konon itu, sehingga seolah-olah melegalkan kemiskinan umatnya dalam kehidupan kini. Pejabat gereja lainnya, diharapkan juga tidak hanya pusing memikirkan bagaimana menara gereja harus tinggi dan terdapat di hampir semua sudut gedung, yang semua ongkosnya kemudian dibebankan kepada umatnya.

Umat atau rakyat yang miskin, akan menjadi lebih miskin kalau diperlakukan sebagai objek. Misalnya, para pejabat pemerintah datang mendekati mereka beri sembako dengan harapan citra dan wibawa bisa terangkat. Begitu juga dengan elit gereja, yang kemudian berkoar dengan khotbah, bahwa kemiskinan umatnya adalah karena kemalasan, dengan tidak melihat kenyataan bahwa sebagian besar tanah garapan mereka telah dikuasai oleh para pemilik modal. Itu barangkali antara lain penyebab kemiskinan. Belum lagi elit gereja yang tidak pernah pusing uang persembahan jutaan rupiah dari si A yang adalah pejabat pemerintahan daerah itu apakah didapat dari sebuah proses yang benar, atau karena korupsi. Kan, ketika menerima itu, gereja seolah-olah juga sedang mengiyakan praktek korupsi dan suap, yang langsung atau tidak langsung sebagai penyebab kemiskinan bagi jemaatnya.

Peran Gereja
Peran gereja dalam mengatasi kemiskinan, bagi jemaat atau rakyat di mana konteks ia berpijak, antara lain adalah tindakan aksi refleksi dengan mengarahkan umat pada kerja-kerja yang menghidupkan dengan memberdayakan apa yang ada. Misalnya, gereja ikut berperan dalam mengusahakan cap tikus yang sekarang ini hanya bisa dikosumsi langsung dan banyak membuat orang mabuk, diolah lagi untuk kemudian menjadi alcohol teknis untuk medis. Selain itu, tak salah kalau gereja juga ikut memikirkan dan melakukan tindakan strategis dalam usaha bersama-sama dengan institusi Negara lainnya dalam mengatasi persoalan korupsi dan suap. Soal ini, tentu gereja sebagai lembaga pertama-tama harus mengatasi dulu virus perilaku korupsi yang barangkali telah menjangkiti tubuhnya.

Selain itu, gereja yang memang hadir dengan suara kenabiannya, sangat penting juga untuk secara kritis mengkoreksi model penyelenggaran Negara atau pemerintahan daerah yang tidak berpihak kepada rakyat. Contoh praktis, bahwa ketika digelar Pilkada, gereja mestinya berperan mengisi hati dan otak rakyat untuk memilih sesuai hati nurani. Tapi ini bisa terjadi kalau gereja menjaga jarak dengan para calon yang faktanya suka bermain mata dengan gereja. Kongkritnya, gereja mestinya ikut juga secara aktif berpolitik, yaitu dengan cara mengadvokasi dan memberdayakan rakyat, siapapun dia, untuk menjadi warga Negara yang tahu berdemokrasi, kritis dan sudah tentu punya posisi tawar dengan kekuasaan Negara yang kadang sentralistik dan otoriter. Mengapa tidak kalau memang eksekutif atau legislative terbukti mengingkari hak-hak rakyat dengan meracang dan membuat kebijakan yang tidak pro rakyat dan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok, gereja ikut memfasilitasi dan bersama-sama dengan rakyat menggugatnya. Inilah makna sebenarnya bergereja dalam realitas yang miskin.

Tidak ada komentar: