Rabu, 13 Agustus 2008

Dialog Injil dan Kebudayaan

Injil yang Terbungkus
Umat gereja sering dikacaukan dengan tampilan Injil oleh gereja yang merasa superior, meski memang disebut penuh kasih, bersahabat. Tapi, dalam pemaknaannya ketika berjumpa dengan dunia, Injil dibuat seolah-olah ektstrim dan tanpa ampun terhadap agama dan kebudayaan lain. Injil sering dipakai oleh sekelompok manusia hanya untuk menghakimi pelacuran, pencurian, pembunuhan dan berbagai bentuk kejahatan manusia lainnya. Injil lebih dipahami sebagai aturan hukum saja, bukan nilai atau spirit yang membebaskan manusia dari belenggu penjajahan pemikiran serta ketidakadilan struktur politik. Sehingga yang terjadi, Injil sering vis a vis dengan kenyataan konteks atau budaya di sebuah tempat dan waktu.

Injil lahir di sebuah kebudayaan, Timur Tengah misalnya. Tapi tradisi kekristenan berkembang di Eropa. Kekristenan yang bersemangatkan Injil itu akhirnya terbungkus dengan paradigma dan frame berpikir peradaban kebudayaan Eropa, yang kenyataanya, memang kemudian membuat Injil seolah-olah produk dunia Eropa/Barat. Persoalannya kemudian adalah ketika Injil masuk dalam waktu yang sama dan dengan perangkat yang sama dengan kolonialisme dan impreliasme ke Dunia Timur. Pada banyak hal, akhirnya semua definisi yang Injili, bukan lagi dari Injil itu, sebagaimana yang disaksikan Alkitab, melainkan telah dari apa kata paradigma dan peradaban yang membungkusnya, yaitu Barat. Tradisi kekristenan itulah yang kemudian diperkenalkan di dunia Timur.

Inilah antara lain gambaran persoalan Injil dan Kebudayaan. Bahwa ketika Injil telah diklaim semacam milik satu peradaban saja, maka seolah-olah yang diluar peradaban itu tidak Injili. Bahkan persoalan menjadi lebih rumit, ketika gereja akhirnya membungkus Injil itu, yang mana gereja sebenarnya juga telah bersimbiosis mutualis dengan paradigma dan peradaban Barat itu.
Akhirnya yang kita lihat pasca era kolonialisme dan impreaslisme Barat di paruh abad 20, Injil telah berwajah kebarat-baratan yang membungus Injil itu sejak berabad-abad sebelumnya. Ketika gereja berbicara tidak ada keselamatan di luar gereja, sebelum abad pertengahan, bahkan pasca abad pertengahan, dan kemudian kepentingan ekonomi politik bangsa-bangsa Eropa yang berambisi besar menguasai Dunia Timur yang kaya dengan sumber daya alamnya menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan, maka Injil kemudian hadir dengan wajah dunia Barat, yang cenderung patriakhal, feodalistik dan hemgemonistik. Wajah Yesus akhirnya tampak seperti ‘bule’.

Padahal, di saat yang sama, bahkan sebelum kekristenan lahir, Dunia Timur telah memiliki peradabannya sendiri: ada budayanya, ada agamanya dan ada sistem politik serta ekonominya sendiri. Agama-agama bahkan telah lama berkembang di sini, misalnya Hindu, Budha, Konghucu dan sejumlah agama local masyarakat Timur. Beberapa pemikiran keagamaan itu misalnya, bahkan kadang juga didefinisikan sebagai pemikiran filsafati. Pokoknya, dunia timur adalah dunia yang telah beradab dan berbudaya.

Injil dalam Ketegangan
Injil akhirnya bersitegang dengan kebudayaan local masyarakat Timur. Padahal sebenarnya, antara Injil dan kebudayaan tak akan bersitegang kalau manusia tidak dengan sengaja membuat mereka bersitegang. Ketegangan ini bukan karena Injil yang tampilannya memang tidak bersahabat atau ingin bermusuhan dengan apa dan siapa saja, melainkan karena paradigma atau konteks di Eropa, di mana Injil diformulasi dan kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk Dunia Timur, telah membungkus Injil dalam frame berpikirnya terhadap dunia lain. Injil kemudian dipakai seperti alat legitimasi untuk menghakimi peradaban dan kebudayaan lain.
Ketegangan ini mestinya dimaknai secara kreatif. Tapi yang kita lihat dan rasakan hingga sekarang bahwa Injil yang dikhotbahkan gereja masih saja tampil dengan semangat superiornya. KKR yang marak dilaksanakan oleh gereja-gereja evangelical di tanah lapang misalnya memperlihatkan dengan jelas kepada kita, betapa Injil ditampilkan dengan sengaja sebagai nilai dan spirit yang absolut. Tiada kebenaran lain di luar gereja, kata mereka. Padahal, nilai Injil adalah keadilan, kebenaran dan kedamaian.
Namun, ketegangan antara Injil dan kebudayaan yang terjadi dan menjadi gejala hingga sekarang sebenarnya memang adalah bagian dari proses sejarah. Bahwa ketika dalam proses itu yang menjadi dominant dalam dimensi politik dan ekonomi adalah peradaban Barat, melalui alat-alat teknologinya yang canggih, maka yang terjadi kemudian bahwa gereja yang mengabarkan Injil juga seolah-olah “takluk” di bawah pengaruh paradigma penguasa peradaban itu. Gereja dalam proses pengabaran Injilnya sampai di abad yang baru lewat memang dalam taklukan itu. Gereja waktu itu belum bisa dengan bebas mengekspresikan nilai-nilai Injil yang sebenarnya bersahabat, secara penuh keakraban dengan budaya di mana Injil itu akan dikabarkan.


Itulah sehingga ketegangan antara Injil dan kebudayaan membawa konsekuensi pada terdistorsinya beberapa nilai kearifan local atau nilai-nilai budaya di mana gereja Barat mengabarkan Injil itu. Perlahan tapi pasti, akhirnya gereja yang berhasil didirikan di dunia timur mengarahkan kiblatnya, baik soal arsitektur bangunan gereja maupun paradigma berteologinya pada peradaban Barat. Gereja akhirnya menjadi kebarat-baratan.

Menggagas Perjumpaan Yang Akrab Antara Injil dan Kebudayaan
Meski begitu kita akhirnya harus jujur juga mengatakan bahwa karena proses itulah sehingga terjadi perubahan ke arah yang positif beberapa lokus dunia Timur. Misalnya di Minahasa karena perjumpaan itu sehingga sehingga di perkenalkan system pendidikan yang lebih modern, dengan berdirinya beberapa sekolah di Tanah Minahasa. Agama Kristen di Minahasa sudah dari abad 16 ketika bangsa barat Portugis dan Spanyol membawa agama Katolik ke Minahasa. Tapi agama Kristen Protestan masuk Minahasa melalui misi Zending Belanda baru mulai tahun 1831 mengirimkan pendeta-pendeta bangsa Jerman seperti J.F.Riedel yang melayani di Tondano, J.G.Schwarz yang melayani di Langouwan dan Tonsea, N.Ph.Wilken di Tomohon. Kuranga Tomohon mulai ada sekolah tahun 1852 dan kemudian thn.1866 di dirikan sekolah penulong injil (guru agama merangkap guru sekolah). Dan tahun 1868 setelah 37 tahun proses protestanisasi maka misi Katolik kemudian mulai bergiat lagi, di tahun itu juga terbitlah koran " Tjahaya Siang" yang di cetak di Tanah Wangko. Ini juga menunjukkan bahwa orang Minahasa mulai tahun 1868 sudah memasuki masyarakat moderen sudah menulis di koran dan sudah membaca koran berarti sebahagian besar orang Minahasa tidak lagi buta huruf. Karena memang Injil yang masuk ke Tanah Minahasa tampilannya cukup baik, yaitu dengan membangun sekolah-sekolah dan pelayanan kesehatan.
Sesungguhnya kepedulian untuk memesrakan antara Injil dan kebudayaan, dalam Gereja Protestan sebenarnya sudah cukup lama. Beberapa pertemuan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD), di awal-awal abad 20 sudah membicarakan dengan serius tentang Dunia Timur yang mestinya harus diakrabi oleh gereja. Gereja Katolik justru melakukan perubahan radikal pandangannya terhadap budaya, tradisi dan agama lain nanti pada tahun 1965 melalui Konsili Vatikan II. Baik Gereja Protestan maupun Gereja Katolik meski memang berbeda pendekatan dan penekanannya pada masa-masa itu, tapi sebenaranya tampak dengan jelas mulai bertumbuhnya kesadaran untuk memaknai kehadiran gereja secara dialogis dan kontekstual.
Belakangan di gereja Protestan muncul apa yang disebut dengan Teologi Kontekstual. Kemunculan paradigma berteologi ini menghadirkan suatu cahaya baru bagi proses penginjilan atau proses mengabarkan Injil Yesus Kristus. Teologi Kontekstual akhirnya memang dipilih sebagai cara alternative yang lebih teologis dalam memaknai budaya di mana gereja itu berpijak. Tapi memang dalam perkembangannya, paradigma ini tidak menjadi sesuatu yang masal bagi gereja-gereja. Gereja beraliran evanglikal tetap dengan arah dan model berteologinya, yang antara lain katanya adalah penginjilan yang disama artikan dengan penobatan kebudayaan kafir. Sementara gereja yang beraliran ekumenikal terus bersemangat mengembangkan model dan paradigma berteologinya yang lebih terbuka, namun kritis terhadap kebudayaan, tradisi atau juga agama lain.
Teologi Kontekstual adalah usaha menghadirkan gereja dengan wajah dan paradigma berteologi sesuai dengan alam berpikir dan kebutuhan konteks budaya di mana gereja itu berpijak. Namun pada akhirnya teologi kontekstual bukan hanya soal bagaimana mendialogkan antara gereja dan nilai-nilai kebudayaan tradisional, tapi juga diusahakan untuk dapat berpihak pada penderitaan rakyat yang bersoal dengan kekuasaan Negara yang dominant yang antara lain sebagai penyebab ketidakadilan struktur, dan juga berusaha tampil sebagai pembela hak-hak rakyat dalam berekonomi.
Capaian dari teologi kontekstual adalah berdamaiannya antara gereja yang mengabarkan Injil dengan kebudayaan. Dalam prosesnya terjadi saling memberi isi meski memang sikap kritis tetap harus dijaga. Dan, secara teoligis, Injil memang adalah untuk mendamaikan demi terciptanya kehidupan manusia dan alam yang adil, dan sejahtera.(tim redaksi)

Tidak ada komentar: